ANALISIS STRUKTUR FIKSI
CERPEN PAMAN
DOBLO MEROBEK LAYANG-LAYANG
KARYA AHMAD TOHARI DALAM ESAI DAN KRITIK
I.
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Secara etimologis kesusastraan berarti
karangan yang indah. “Sastra” (dari bahasa Sansekerta) artinya: tulisan,
karangan, tetapi sekarang pengertian “kesusastraan” berkembang melebihi
pengertian etimologis tersebut karena makna indah sangat luas maknanya. Sebuah ciptarasa
yang indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia
harus dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya, dan strukturnya (Esten,
1987:7).
Seperti yang telah kita ketahui bentuk-bentuk
kesusastraan meliputi puisi, cerita rekaan(fiksi), esai dan kritik, dan drama.
Dalam prosa, suasana dan masalah-masalah lain dapat saja muncul di luar suasana
dan masalah pokok yang ingin diungkapkan seorang pengarang dalam
ciptasastranya. Cerita-rekaan (fiksi) dibedakan atas tiga macam bentuk, yakni
cerita-pendek(cerpen), novel, dan roman. Cerpen merupakan pengungkapan suatu
kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia – tidak dituntut perubahan
nasib dari pelakunya – isinya merupakan suatu lintasan dari kehidupan manusia,
yang terjadi pada suatu kesatuan waktu.
Ahmad Tohari, salah satu sastrawan
Indonesia yang mampu go-internasional, sudah berusaha mempernalkan
karya-karyanya – sekaligus menyuguhkan segenap teori-teori yang patut diteliti
dalam berbagai kajian. Bahasan terdahulu telah membahas mengenai hakikat fiksi
prosa, unsur semiotik cerpen, sosiologi dalam cerpen, dan pada bahasan ini akan
dibahas mengenai struktur fiksi dalam cerpen karya Ahmad Tohari: Paman Doblo Merobek Layang-Layang yang
diterbitkan Kompas – 6 Juli 1997.
Kemudian, dari pengkajian itu dapat pula
diulas dalam bentuk esai, maupun kritik. Seperti yang telah dipelajari
sebelumnya esai adalah suatu karanganyang berisi tanggapan-tanggapan, komentar,
pikiran-pikiran tentang suatu peristiwa. Esai bersifat sugestif dan lebih
banyak memperlihatkan alternatif-alternatif. Ada pula esai yang merupakan studi – yang berisi suatu karangan
mengenai penelitian terhadap sesuatu dan bersifat objektif. Menurut H. B.
Yassin, kritik adalah pertimbangan baik dan buruk sebuah ciptasastra. Suatu kritik(sastra) yang baik harus lebih banyak memperlihatkan
alternatif-alternatif daripada memberikan vonis (Esten, 1987:13).
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat dikemukakan yaitu bagaimanakah
struktur fiksi cerpen Paman Doblo Merobek
Layang-Layang karya Ahmad Tohari dalam esai dan kritik?
1.3
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan
1.
mengetahui apa itu struktur fiksi dan
2. mendeskripsikan analisis struktur fiksi
dalam cerpen Paman doblo Merobek Layang-Layang karya Ahmad Tohari dalam esai
dan kritik.
II.
LANDASAN TEORI
2.1 Struktur dalam Sastra
Struktur
disebut juga bentuk. Kejadian atau peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita
dapat dimasukkan ke dalam isi, sedangkan penyusunan peristiwa-peristiwa
tersebut dapat masuk ke dalam bentuk.Yang termasuk ke dalam struktur antara
lain: alur, latar, pusat pengisahan, penokohan dan gaya bahasa. Antara isi dan struktur memunyai kedudukan
dan kepentingan yang sama dalam penelitian dan penilaian. Nilai sebuah
ciptasasra tidaklah ditentukan hanya oleh isi. Akan tetapi merupakan hasil dari
tinjauan tentang isi dan struktur. Sebuah ciptarasa bernilai baik, bilamana isi
(tema dan amanat) baik dan ditransformir (diungkapkan) ke dalam suatu struktur
yang baik dan artistik (indah).
Sebuah ciptasastra yang bernilai ialah
apabila adanya keharmonisan antara isi yang baik dengan struktur yang baik
pula. Apa yang disajikan dan bagaimana menyajikannya adalah dua hal yang
menentukan berhasil tidaknya sebuah ciptasastra. Kemudian faktor-faktor
fantasi, imajinasi dan emosi menentukan pada ciptasastra tersebut.
Struktur (bentuk) tidaklah sama artinya dengan bagan,
rangka dan konstruksi (bangunan). Pengertian struktur lebih luas dari itu.
Kalau dengan isi dimaksudkan segala apa yang diungkapkan dalam sebuah
ciptasatra, maka dengan srtuktur dimaksudkan tentang bagaimana cara
mengungkapkannya.
Struktur hakikatnya berupa suatu konstruksi
abstrak yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan dalam susunan
tertentu,yang membentuk sebuah dunia. Menurut Piaget (Zaimar dalam Kurniawan,
2009:67-68), konsep struktur itu mempunyai tiga ciri penting:
1. Struktur merupakan totalitas (wholeness), jadi unsur struktur tidak
dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dapat saja
suatu konstruksi terdiri dari bagian yang lebih kecil atau biasa disebut
struktur bawahan, tetapi semua harus membentuk suatu kejadian. Jadi, struktur adalah suatu totalitas.
2. Struktur dapat mengalami transformasi (transformation), jadi setelah melalui proses, struktur dapat
berubah maka struktur bukanlah sesuatu yang statis.
3. Struktur mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (self regulation), mempunyai kemampuan
otoregulasi.
Mengacu pada perspektif cara pandang strukturalisme di atas,
maka karya sastra sebagai “dunia dalam kata” juga merupakan sebuah struktur
yang terbentuk dan dibangun oleh unsur-unsur yang menyeluruh, bertransformasi,
dan berkemampuan mengatur dirinya sendiri: (1) keseluruhan (wholeness) dalam karya sastra terlihat
pada kepaduan yang terjalin antarunsur yang membangun karya sastra, misalnya
hubungan antara tokoh, alur, dan latar, yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, selalu menyatu dan hadir dalam karya sastra (fiksi); (2) gagasan
transformasinya (transformation)
terlihat pada berubahnya suatu genre dalam karya sastra yang akan mengakibatkan
perubahan genre puisi ke fiksi yang dilakukan dengan paraphrase akan
menyebabkan perubahan unsur-unsurnya; (3) kemampuan mengatur dirinya sendiri (self regulation), yang dalam karya
sastra dapat dilihat bahwa yang menentukan makna keseluruhan karya sastra dapat
dilihat bahwa yang menentukan makna keseluruhan karya sastra adalah unsur-unsurnya
sendiri, bukan unsur di luarnya. Artinya, tanpa bantuan unsur di luar dirinya,
kita dapat mendefinisikan dan memaknai karya sastra berdasarkan unsur-unsur
yang membangunnya secara padu.
2.2 Struktur
Cerita-rekaan (Fiksi)
Unsur-unsur
pembangun karya sastra (prosa fiksi) menurut Stalon (dalam Kurniawan, 2009:70), meliputi fakta
cerita (facts), tema (theme), dan sarana cerita (literary device).
1. Fakta
Cerita (Facts)
Dalam istilah yang lain, fakta cerita sering disebut sebagai
struktur faktual yang unsur-unsurnya meliputi: tokoh ( characters), alur (plot),
dan latar (setting). Sebagai fakta
cerita, tiga unsur ini juga, yang pada hakikatnya, membentuk fakta realita dari
kehidupan: manusia sebagai tokoh; ruang dan tempat ( latar); dan pergerakan
dari satu ruang ke ruang lain (alur). Dengan demikian, karya sastra ( prosa
fiksi) sebagai dunia dalam kata dapat dipersepsi sebagai miniatur dari
kehidupan, yang selalu menghadirkan tiga unsur ini secara mutlak, sehinnga
kehadiran fakta cerita merupakan suatu unsur yang secara langsung dapat
diidentifikasikan dalam prosa fiksi.
·
Alur:
dalam arti luas, alur adalah keseluruhan sekuen (bagian) peristiwa-peristiwa
yang terdapat dalam cerita, yang rangkaian peristiwa yang terbentuk karena
proses sebab akibat ( kausal) dan peristiwa-peristiwa lainnya ( Stanton dalam Kurniawan,
2009). Hal ini menunjukkan bahwa alur itu bukanlah rangkaian waktu dalam
cerita, melainkan rangkaian peristiwa yang membentuk cerita, dan
peristiwa-peristiwa dalam cerita ini mempunyai hubungan yang erat, karena
kehadiran satu peristiwa menyebabkan hadirnya peristiwa lainya. Jalinan antar
peristiwa inilah yang oleh Stanton
disebut sebagai alur. Alur dalam prosa fiksi itu memiliki tiga bagian: awal,
tengah, dan akhir. Alur dalam cerita biasanya mempunyai kaidah-kaidahnya
sendiri. Kenny (1966) (Nurgiyantoro dalam Kurniawan, 2009) menjelaskan bahwa
kaidah alur dalam cerita itu meliputi:
1.
Kemasukakalan
(plausibility); bahwa cerita memiliki
kemasukakalan jika memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri,
tetapi tidak menutup kemungkinan jika benar juga sesuai dengan kehidupan faktual,
sekalipun pada bagian ini tidak mutlak.
2.
Rasa
ingin tahu (suspense); suspense merupakan perasaan semacam
kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, khususnya yang menimpa
tokoh yang diberi simpati oleh pembaca. Keberadaan suspense akan mendorong,
menggelitik, dan memotivasi pembaca untuk setia mengikuti cerita, dan mencari
jawaban rasa ingin tahu terhadap kelanjutan cerita.
3.
Adanya
kejutan (surprise); merupakan
peristiwa-peristiwa yang berisi kejutan dalam cerita, yang peristiwanya bisa
saja di luar dugaan pembaca. Kejutan ini hadir sebagai warna untuk membuat
pembaca semakin menyukai cerita. Dengan kejutan-kejutan, maka cerita menjadi
tidak monoton dan membosankan. Oleh karenanya, kejutan merupakan hal yang penting
keberadaannya dalam sebuah cerita, dan biasanya dinanti-nanti pembaca.
4.
Kepaduan
(unity); menyarankan bahwa berbagai
unsur yang ditampilkan dalam alur haruslah memiliki kepaduan. Artinya,
mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya sehingga membentuk satu
kesatuan yang utuh, sehingga keberadaan antar unsurnya menentukan keberadaan
unsur-unsur yang lainnya.
·
Tokoh:
tokoh dalam cerita ini merujuk pada orang atau individu yang hadir sebagai
pelaku dalam sebuah cerita. Jumlah tokoh dalam cerita ini bervariatif, ada yang
banyak, misalnya tokoh-tokoh dalam novel, atau bisa juga sedikit, misalnya
tokoh dalam cerita pendek atau novel psikologis. Dari kevariatifan jumlah tokoh
yang hadir dalam cerita, hal yang pasti, dalam cerita pasti ada tokoh sentral (central character) dan tokoh tambahan (peripheral character).
Tokoh
utama adalah tokoh yang keberadaannya berhubungan dengan peristiwa dalam cerita
(Stanton ).
Dengan perkataan lain, tokoh sentral merupakan tokoh yang menjadi pusat
perhatian cerita, sehingga mempunyai posisi dominan sebagai tokoh yang banyak
terlibat dalam peristiwa cerita atau banyak diceritakan. Tokoh utama ini
merupakan tokoh yang mempunyai karakter bulat (round character), yaitu tokoh yang memiliki dan diungkapkan
berbagai kemungkinan sisi kehidupannya dan sisi jati dirinya dan mempunyai
kepribadian dan karakter yang kompleks. Biasanya, tokoh utama ini hadir dalam
dua peran, yaitu sebagai tokoh protagonis, yaitu tokoh yang biasanya menjadi
hero (pahlawan), tokoh yang mempresentasikan nilai-nilai dan harapan pembaca,
dan tokoh antagonis, yaitu tokoh yang menjadi lawan dari tokoh protagonis,
yaitu tokoh yang keberadaannya tidak diharapkan oleh pembaca karena
keberadaannya melawan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh tokoh protagonis.
Tokoh
tambahan adalah kebalikan dari tokoh utama, merupakan tokoh yang keberadaannya
hanya sebagai penambah atau pelengkap dari tokoh utama. Kehadiran tokoh
tambahan ini biasanya berfungsi untuk menjelaskan keberadaan tokoh-tokoh utama,
dan porsipenceritaannya hanya sedikit, sehingga karakter yang ada pun bersifat
datar (flat character), sederhanya
dan tidak kompleks sebagaimana karakter tokoh utama.
·
Latar:
menurut Stanton ,
latar cerita adalah lingkungan, yaitu dunia cerita sebagai tempat terjadinya
peristiwa. Dalam latar inilah segala peristiwa yang menyangkut hubungan antar
tokoh terjadi.Latar dalam cerita biasanya akan menyangkut tiga hal; (1) latar tempat, yaitu latar yang merujuk
pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dan menunjuk lokasi tertentu
secara geografis, misalnya di daerah dan tempat tertentu seperti: rumah,
sekolah, nama desa, kota, dan sebagainya; (2) latar waktu; latar waktu ini berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita. Masalah “kapan” ini
biasanya berhubungan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan peristiwa sejarah (3) latar sosial; merupakan latar yang
merujuk pada kondisi sosial masyarakat sebagai tempat cerita. Kondisi sosial
masyarakat ini mencakup; kebiasaan masyarakat dan adat-istiadat yang dijadikan
sebagai latar cerita.
2. Tema (Theme)
Dalam
arti yang paling sederhana, tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau
dasar yang terdapat dalam cerita (Sayuti dalam Kurniawan, 2009:75). Sementara itu,
Stanton dalam
Kurniawan (2009) menyatakan bahwa tema dalam cerita ini berhubungan dengan
makna pengalaman hidup. Tema mungkin sesuatu yang membuat pengalaman dapat
diingat, misalnya mengenai cinta, penderitaan, ketakutan, kematangan hidup, dan
pengkhianatan.
Tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik, dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif
yang terdapat dalam karya sastra yang bersangkutan, yang menentukan hadirnya
peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal
bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik atau situasi
tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik lainnya. Tema merupakan dasar pengembangan seluruh
cerita, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita (Nurgiantoro).
Tema sebagai ide utama (central idea) dan tujuan utama (central
purpose).Tema merupakan dasar cerita yang menjadi falsafah hidup dalam
sebuah cerita. Tema cerita mirip dengan falsafah hidup yang matang, dan
struktur faktual (fakta cerita) mirip dengan realitas. Hal ini mengindikasikan
bahwa tema adalah suatu nilai yang tersirat dalam cerita “makna cerita”, yang
terdapat dalam kesatuan fakta cerita.
Sayuti dalam Kurniawan (2000:76) menjelaskan bahwa tema
adalah makna yang dilepaskan oleh suatu cerita atau makna yang ditemukan oleh
dan dalam suaru cerita. Tema merupakan implikasi yang penting bagi suatu cerita
secara keseluruhan, bukan sebagian dari suatu certia yang dapat dipisahkan.
Dalam kaitannya dengan pengalaman pengarang, tema adalah sesuatu yang
diciptakan oleh pengarang sehubungan dengan pengalaman total yang
dinyatakannya.
Tema dalam fiksi, umumnya, diklasifikasikan menjadi lima
jenis; (1) tema jasmaniah (physical);
yaitu tema yang cenderung berkaitan dengan tubuh manusia sebagai molekul, zat,
dan jasad, contoh cerita dengan tema ini, misalnya novel-novel populer tentang
percintaan remaja; (2) tema moral (organic);
merupakan tema yang berhubungan dengan moral manusia, yang wujudnya tentang
hubungan antara pria-wanita; (3) tema sosial (social); merupakan tema yang berada diluar masalah pribadi,
misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda; (4) tema egoik (egoic); merupakan tema yang menyangkut
reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial; (5) tema
ketuhanan (divine); merupakan tema
yang berkaitan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Dalam menafsirkan tema dalam sebuah cerita, menurut
Stanton, haruslah didasarkan pada hal-hal berikut ini.
1. Penafsiran terhadap tema cerita harus
benar-benar memperhatikan setiap uraian yang menonjol dalam cerita dan
kegagalan dalam menafsirkan tema terjadi karena pengabaian sejumlah peristiwa
penting yang terdapat dalam cerita.
2. Penafsiran terhadap tema sebaiknya tidak
bertentangan dengan setiap uraian cerita.
3. Penafsiran tema sebaiknya tidak bergantung
pada keterangan yang benar-benar ada atau tersirat dalam cerita.
4. Penafsiran tema harus didasarkan secara
langsung pada cerita.
Keempat hal di atas merupakan dasar yang harus dilakukan
pembaca dalam menafsirkan tema dalam cerita. Karena tema merupakan makna
cerita, maka tema bisa dipahami dengan proses pembacaan yang menyeluruh dengan
cermat memahami setiap unsur yang membangun karya sastra.
3. Sarana
Cerita (Literary Device)
Sarana cerita merupakan cara-cara yang
digunakan pengarang dalam menyeleksi dan menyusun bagian-bagian cerita,
sehingga tercipta karya sastra yang bermakna. Tujuannya adalah agar pembaca
dapat melihat fakta-fakta cerita melalui sudut pandang pengarang; melihat arti
fakta cerita sehingga dapat bertukar pendapat tentang pengalaman yang
terlukiskan. Menurut Stanton, yang termasuk dalam sarana ini meliputi: judul
dan sudut pandang.
a.
Judul; pada hakikatnya, judul merupakan hal yang pertama
dibaca oleh pembaca cerita. Judul merupakan elemen lapisan luar dari cerita.
Oleh karena itu, judul merupakan elemen yang paling dikenali oleh pembaca
(Sayuti dalam Kurniawan, 2009), sehingga pembaca selalu berharap bahwa judul
dalam cerita itu menjadi acuan sebagai pencerminan terhadap isi ceritanya
secara keseluruhan. Akan tetapi, judul sebagai cermin isi keseluruhan dari
suatu cerita tidak bersifat mutlak, seringkali judul dalam cerita secara arti
tidak berhubungan dengan isi, sekalipun mungkin secara metaforik atau makna
kiasannya mempunyai relevansi.
b. Sudut pandang (point of view), Abrams dalam Kurniawan (2009) menyarankan pada cara
sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara dan/atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar,
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah cerita pada pembaca.
Sudut pandang pada hakikatnya adalah strategi, teknik, dan siasat yang secara
sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala
sesuatu yang dikemukakan dalam cerita, memang, milik pengarang sebagai wujud
pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu,
dalam karya fiksi, disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh
cerita.
Secara garis besar, sudut pandang dalam cerita dibedakan
menjadi dua: sudut pandang cara bercerita orang pertama (first-person) dengan penceritaan menggunakan gaya ”aku”; dan sudut
pandang cara bercerita orang ketiga (third-person),
dengan penceritaan menggunakan gaya ”dia”. Dengan berbagai variasinya, maka
muncul sudut pandang campuran, yaitu menggabungkan sudut pandang orang pertama
dan orang ketiga.
Stanton dalam Kurniawan (2009:79) membagi sudut pandang
dalam cerita menjadi empat tipe utama. Empat sudut pandang itu adalah:
1. Aku sebagai tokoh utama (first-person-central); tokoh utama
mengisahkan cerita dalam kata-katanya sendiri.
2. Aku sebagai tokoh bawahan (first-person-peripheral); tokoh bawahan
mengisahkan ceritanya.
3. Ia sebagai pencerita terbatas (third-person-limited); pengarang mengacu
semua tokoh dalam bentuk orang ketiga (ia atau mereka), tetapi hanya
menceritakan apa yang dapat dilihat, didengar, atau dipikirkan oleh seorang
tokoh.
4. Ia sebagai pencerita yang serba tahu (third-person-omniscient); pengarang
mengacu pada setiap tokoh dalam bentuk orang ketiga (dia atau mereka), dan
menceritakan apa yang didengar, dilihat, dan dipikirkan oleh beberapa tokoh,
seakan-akan menceritakan peristiwa tanpa kehadiran tokoh.
Hakikat sebuah cerita-rekaan (fiksi) ialah bercerita. Ada
yang diceritakan dan ada cara penceritaan. Penceritaan ini termasuk dalam
struktur (Esten, 1978:25-26). Beberapa unsur struktur cerita-rekaan adalah sama
seperti pendapat di atas:
a.
Alur
b.
Penokohan/perwatakan
c.
Latar
d.
Pusat
Pengisahan (Point of View)
e.
Gaya Bahasa
Alur adalah urutan peristiwa-peristiwa dalam sebuah
cerita-rekaan. Alur dari sebuah cerita-rekaan terdiri atas:
-
situasi (mulai melukiskan keadaan);
-
generating
circumstances (peristiwa-peristiwa mulai bergerak);
-
rising action (keadan mulai memuncak)
-
klimaks (mencapai titik puncak)
-
denouement (pemecahan soal, penyelesaian)
Penokohan ialah bagaimana cara pengarang menggambarkan
dan mengembangkan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita-rekaan. Ada beberapa cara
dalam menggambarkan tokoh:
1.
Secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan
bagaimana watak tokoh-tokohnya.
2.
Secara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung
menceritakan watak tokoh-tokoh ceritanya. Misalnya melalui penggambaran tempat
dan lingkungan tokoh, bentuk lahir melalui percakapan (dialog) melalui
perbuatan sang tokoh.
Pusat pengisahan, maksudnya adalah sebagai siapa
pengarang dalam cerita. Meneliti pusat pengisahan berarti pula meneliti
pertalian relasi antara pengarang dengan ceritanya. Ada beberapa jenis pusat
pengisahan:
1.
Pengarang sebagai tokoh utama.
2.
Pengarang sebagai tokoh samping.
3.
Pengarang sebagai orang ketiga (berdiri di luar cerita).
4.
Campur aduk, kadang-kadang masuk ke dalam cerita,
kadang-kadang di dalam atau di luar cerita.
Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang mengungkapkan
suatu pengertian dalam kata (frase), kelompok kata, dan kalimat. Keccenderungan
gaya bahasa ciptasastra modern adalah baru, hidup, dan segar. Ungkapan-ungkapan
yang klise (sudah sering kali digunakan) dihindari. Gaya bahasa sesungguhnya
berasal dari dalam batin seseorang. Seseorang yang melankolis (pemurung) memiliki gaya bahasa
romantis beralun-alun.
(Esten, 1987: 25-28)
Nurgiantoro mengemukakan bahwa dalam menganalisis karya
sastra, dalam hal ini fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengaji,
dan mendeskripsikan fungsi hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang
bersangkutan. Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi
dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama
menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural tidak cukup hanya
sekedar mendata unsur tertentu sebuah fiksi, misalnya plot, tokoh, latar, atau
yang lain. Namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan
antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan
makna keseluruhan yang ingin dicapai. Analisis struktural dapat berupa kajian
yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana,
dan relasi intertekstual.
III.
PEMBAHASAN
3.1 Struktur Fiksi dalam Cerpen Paman Doblo Merobek Layang-Layang Karya Ahmad Tohari
Dari berbagai teori di atas, unsur-unsur dalam struktur
fiksi adalah sama. Semua mencakup analisa tentang unsur-unsur pembangun karya
sastra. Secara umum unsur-unsur tersebut yaitu unsur intrinsik dan
ekstrinsiknya. Menurut Stalon, unsur pembangun sastra yaitu (1) fakta cerita:
tokoh, alur, dan latar, (2) tema, dan (3) sarana cerita: judul dan sudut
pandang. Sama halnya seperti Esten yang mengemukakan beberapa unsur struktur
cerita-rekaan (fiksi) antara lain alur, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan
gaya bahasa.
Kemudian Nurgiantoro juga mengemukakan bahwa analisis
struktural tidak cukup hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah fiksi,
misalnya plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun yang lebih penting adalah
menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan
terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Analisis
struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam
mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual.
Hasil analisis cerpen Paman Doblo Merobek Layang-layang
karya Ahmad Tohari berdasarkan struktur fiksinya dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Berdasarkan pendapat Stalon dan Esten
(1)
Fakta cerita
·
Tokoh dalam cerpen tersebut yaitu saya, Simin, dan Paman
Doblo. Selain itu, ada juga tokoh tambahan
yang berfungsi untuk menjelaskan keberadaan tokoh-tokoh utama, dan porsi
penceritaannya hanya sedikit, sehingga karakter yang ada pun bersifat datar (flat character), sederhanya, dan tidak
kompleks sebagaimana karakter tokoh utama, yaitu anak-anak, anak Simin, dan
pengusaha kilang.
Tokoh
saya dan Simin memunyai watak yang baik. Sehingga dalam penokohannya, saya dan
Simin sebagai pemeran protagonist. Awalnya Paman Doblo orang yang sangat baik
kepada semua orang, namun sifat dan sikapnya menjadi berubah kasar dan perlahan
jadi jahat sehingga penokohannya menjadi tritagonis.
·
Alur
dalam cerpen tersebut merupakan alur maju-mundur. Bermula dari Saya dan Simin
yang masih suka menggembalakan kerbau dan bermain kunclungan sewaktu kecil, percapakan antara Carik simin dan Saya
yang memutar kisah perubahan sikap Paman Doblo, hingga kenyataan bahwa anak-anak Saya dan Simin
tak mungkin lagi mengatakan untung ada
Paman Doblo. Oleh
Esten alur adalah urutan peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita-rekaan. Alur
dari sebuah cerita-rekaan terdiri atas:
-situasi (mulai melukiskan keadaan), saat
awal cerita mengenai kebaikan-kebaikan Paman Doblo yang mengakibatkan anak-anak
dan orang-orang menyebut ”untung ada Paman Doblo”;
-generating circumstances (peristiwa-peristiwa
mulai bergerak) yaitu pada kedatangan Carik Simin ke rumah tokoh Saya yang
mulai menceritakan perubahan sikap Paman Doblo;
-rising action (keadan mulai memuncak)
terjadi saat percakapan antara Carik Simin dengan Saya yang menceritakan
tentang paman Doblo lebih lanjut,
-klimaks (mencapai titik puncak) saat tokoh
Saya merasa sangat trenyuh dan sedih sekaligus sakit mendengar cerita Carik
Simin bahwa Paman Doblo telah tega berkata kasar pada Carik Simin;
-denouement (pemecahan soal, penyelesaian)
saat Carik Simin meminta Saya pulang dan berbicara kepada Paman Doblo. Saya
menjadi bingung dan tak berdaya karena sudah tak mungkin lagi anak-anak akan
bilang ”untung ada Paman Doblo”.
·
Latar dalam cerpen tersebut yaitu (1) latar tempat:
terjadi di kubangan (di desa), rumah Saya (di kota), dan kilang pengolahan kayu; (2) latar waktu: tidak
disebutkan secara pasti pagi/siang/sore/malam. Pembaca diajak untuk
memperkirakannya. Pada umumnya para penggembala kerbau pulang adalah sore hari
dan biasanya pula teman lama yang bertamu ke rumah berkunjung pada malam hari.
(3) latar sosial: kondisi masyarakat pedesaan, adanya sikap tolong-menolong,
serta kebiasaan kangen-kangenan
antarteman lama.
(2)
Tema pada cerpen ini berjeniskan tema moral yang berhubungan
dengan moral manusia. Sehingga tema sederhana yang dapat dirumuskan yaitu
kemanusiaan yang menjadi tema mayor. Untuk tema minornya dapat dirumuskan dari
menggarisbawahi perubahan drastis sikap Paman doblo karena suatu tuntutan,
sehingga dapat dikatakan cerita tersebut bertemakan kerapuhan jati diri
seseorang.
(3)
Sarana Cerita
·
Judul
Judul cerpen karya Ahmad Tohari yaitu Paman Doblo Merobek Layang-layang. Tohari
membiarkan pembaca selalu berharap bahwa judul dalam cerita itu menjadi acuan
sebagai pencerminan terhadap isi ceritanya secara keseluruhan. Judul tersebut
memang berhubungan dengan isi dan peristiwa dalam ceritanya, tetapi ada
kemungkinan lain mengapa Tohari merumuskan judul seperti itu. Judul tersebut
dapat pula dilihat secara metaforik. Dengan kata lain, judul tersebut
mengiaskan sesuatu. Layang-layang digambarkan sebuah benda yang tenang saat
sudah di udara. Layang-layang itu seperti Paman Doblo, yang segala ketenangan
dan kebaikannya telah dirobeknya sendiri.
·
Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan adalah cara bercerita orang
pertama (first-person) karena dalam
penceritaan, Tohari menggunakan gaya ”saya”. Selain itu, ”saya” menjadi serba
tahu saat menceritakan perasaan yang ada dalam hati Simin atau apa yang terjadi
pada Simin. Pangarang pun menggunakan sudut orang ketiga karena terkadang tokoh
saya berada di luar penceritaan.
3.2 Analisis Struktur Fiksi Cerpen Paman Doblo Merobek Layang-layang
karya Ahmad Tohari dalam Bentuk Esai dan Kritik
1.
Esai
Ahmad
Tohari: Berasaskan Kerendahan Hati
Kiprah
cerpen saat ini seperti tidak ada habisnya. Bahkan cerpenis-cerpenis
bermunculan dari seluruh penjuru tanah air. Dan pastinya, nama-nama yang sudah
dikenal itu telah melewati tahap yang dimaksud “pengritikan karya”. Hasil
tangan mereka sudah pasti dicari dan banyak menjadi konsumsi khalayak –
walaupun hanya di-resensi atau di-kritik – mereka sudah memiliki “nama”. Tak
mungkin pula karya-karya yang apik itu tanpa cacat. Mereka disebut cerpenis pun
tak lepas dari segala potensi, intelektualitas, kemampuan mengapresisi diri,
dan kerendahan hati. Seperti terjadi tarik ulur antara sang maestro dengan
bibit baru penulis cerpen, begitulah kenyataannya. Banyaknya promo karya-karya
terbaru tak jua mengalahkan gegap-gempitanya eksistensi para senior yang juga
para pakar.
Pada
dasarnya, kita pun belum mengenal jauh bagaimana perjalanan sastra. Masih sulit
untuk mendalami sastra, terlebih cerpen. Pada
masa Jepang cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa penulis cerpen yang terkenal
di antaranya adalah H.B. Jassin yang menulis cerpen “Anak Laut”. Sebelum perang
Jassin menulis cerpen dalam Poejangga Baroe yang berjudul “Nasib Volontaire “
(1941).Pengarang cerpen yang lain Bakri Siregar. Cerpennya yang pertama
berjudul “Ditepi Kawah”. Pada masa pendudukan Jepang cerpen itu dibukukan
dengan judul “Jejak Langkah” (1953). Sedikit memperkenalkan, beberapa cerpenis
Lampung di antaranya Arman Az, cerpenis sekaligus penyair Isbedy Stiawan Z.S,
F. Moses. Mereka berangkat dari ciri khas masing-masing, yang dapat
dilihat dari gaya penulisannya.
Dari
sekian banyak buah tangan dari para penulis cerita, kita cenderung menikmati
isinya. Para remaja fokus bersuka-ria dengan cerita-cerita yang berkenaan
dengan kisah-kisahnya: jatuh cinta, patah hati, dendam. Mungkin juga sama
seperti pembaca dengan sifat patriotisme – cenderung mencintai dan mengoleksi
cerita bernada perang, sosial-dramatik tanah air, juga pertahanan kekuasaan
negara. Kemudian, muncul pertanyaan: bagaimana mereka mengapersiasi
jungkir-balik penulis? Apakah sekedar menikmati pengalaman hidup yang terlanjur
sama dengan isi cerita? Setidaknya muncul pertanyaan di hati mereka: bagaimana
cerpen ini tampak lucu? Bagaimana cerpen ini terkesan brutal? Bagaimana konflik
pada cerita ini bisa sesuai dengan yang sedang kurasakan? Siapa sih penulisnya?
Apa teknik yang digunakan cepenis bisa mengasilkan cerita sebagus ini? Yaaa..
walaupun agak berlebih, namun pertanyaan-pertanyaan itu dirasa cukup untuk tahu
bagaimana merasakan suasana hati penulis.
Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman
hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya
sastranya. Ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari
lingkungan dekatnya ke pelataran sastra Indonesia. Hal inilah yang menjadi
latar sosial dalam cerpen Paman Doblo Merobek Layang-layang.
Tanpa
ditimbang-timbang lagi karyanya sudah merupakan hasil yang tidak perlu
diragukan lagi. Dan dalam cerpen tersebut pilihan judul yang tepat sudah
menjadi sarana yang baik dalam penceritaannya. Tohari menggunakan dirinya
sendiri (Saya) dalam memperkenalkan Simin dan Paman Doblo. Hal ini terkesan
sangat ringan dan mudah digunakan orang dalam hal penggunaan sudut pandang
penceritaan. Sebab, kembali pada kerendahan hati tohari memperkenalkan latar
kehidupannya, kita bisa bilang “untung
ada Paman Tohari”.
2.
Kritik
Perjalanan Struktur Cerita-Rekaan
Cerita
pendek Indonesia makin mengukuhkan jati dirinya. Kehadirannya kini telah melampaui
penerbitan novel dan drama. Pembicaraan mengenai cerita pendek mesti dilekatkan
pada rel-nya sendiri. Oleh karena itu, kajian kritis terhadap cerita pendek dan
pembicaraan dalam institusi (pendidikan) sastra mesti berada dalam kotaknya
sendiri.
Dalam
konteks membangun kritik, masalah struktur menjadi salah satu wiayah garapan
yang berpusat pada teks. Wilayah lainnya menyangkut pembaca, pengarang, dan
penerbit. Dalam pembicaraan menyangkut pengarang, termasuk di dalamnya
persoalannya tokoh dan ketokohan seseorang. Jadi, ketika kita hendak
membicarakan Ahmad Tohari, atau siapa pun, kita akan menelusuri kulturnya,
pencapaian kualitas struktur yang mampu menciptakan estetik alam ragam sastra
yang dimasukinya, tempatnya yang pas dalam sejarah sastra, dan berbagai hal
lain yang melingkupinya.
Kemunculan
banyaknya cerpenis baru makin menantang eksistensi penulis-penulis senior. Hal
ini tidak hanya menyangkut style yang masing-masing terasa begitu khas, tetapi
juga menyangkut konstruksi-konstruksi yang mampu membopong kualitas tulisannya.
Bagaimanakah perjalanan struktur fiksi pada cerpen Indonesia? Jadi, diskusi
mengenai kecerpenan akan menjadi penting untuk membicarakan struktur dalam
cerpen.
Bagaimana
mungkin cerpen-cerpen banyak bermunculan tanpa ada pengkajian kritis yang
menyusulnya terlebih dahulu? Toh
karya-karya sang maestro menulis pun masih melalui tahap pengkritikan. Padahal
media masa justru menjadi bagian penting dalam reproduksi karya sastra (cerpen,
puisi, dan cerita bersambung). Tahun 1950-an, cerpen Indonesia makin mapan
keberadaannya. Derasnya pengaruh asing, munculnya semangat kedaerahan, dan
terbitnya media masa – termasuk majalah prosa dan cerita pendek – yang waktu
itu dipelopori oleh Ajib Rosidi telah member kesempatan munculnya cerpenis dari
pelosook tanah air. Bersamaan dengan itu, adanya ruang kebebasan untuk
berekspresi mendorong keberanian untuk melakukan eksperimen. Terlepas dari
sesuai-tidaknya struktur dalam tulisan mereka.
Secara
struktural, inovasi yang dilakukan lebih banyak menyangkut tema cerita yang
masih ada keterkaitan pada konvensi. Terlepas dari situ, akan menjadi baik
apabila tema sederhana yang disuguhkan dibarengi dengan kejutan-kejutan yang
memeriahkan suasana cerita pendek Indonesia. Seperti Tohari yang mengangkat unsur
kemanusiaan dalam cerpennya yang berjudul Paman
Doblo Merobek Layang-layang, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa Tohari
menggarisbawahi nilai-nilai moral di dalamnya.
Jika
ditelusuri kembali, cerpen tersebut sangat ringan dan mudah dikonsumsi untuk
anak-anak atau siswa dalam dunia pendidikan. Tetapi menyangkur gereget masing-masing tokohnya, rupanya
masih perlu kita kritisi. Paman Doblo yang menjadi sorotan utama dalam
cerpennya masih belum kentara jati dirinya. Paman Doblo hanya menjadi seorang
yang dihakimi oleh dua orang tokoh lain, tanpa kita tahu apa yang dirasakan
Paman Doblo dalam cerita tersebut. Jelas di sini konstruksi bangunan pada
cerpen Tohari masih belum kokoh.
Tak
hanya sampai di situ. Konstruksi akhir dari cerpen Tohari pun masih perlu dipertanyakan
mengenai kesesuaiannya dengan daya tangkap anak-anak. Apakah anak-anak perlu
dipaksa untuk menjadi dewasa dalam memahami perubahan diri seseorang? Dalam hal
ini yang berubah adalah Paman Doblo. Apakah Paman Doblo benar-benar sudah tiada
di mata anak-anak? Atau, bagaimana kelanjutan cerita yang pas?
Hal
itu menjadi perhatian serius bagi para pandatang baru di dunia cerpen. Bukankah
struktur cerita-rekaan seperti cerpen masih harus memperhatikan kekokohan
unsur-unsur yang ada di dalamnya?
IV.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dan analisis di atas, penulis
dapat menyimpulkan bahwa struktur fiksi tidak dapat melupakan hakikat struktur
itu sendiri. Struktur
hakikatnya berupa suatu konstruksi abstrak yang terdiri dari unsur-unsur yang
saling berhubungan dalam susunan tertentu,yang membentuk sebuah dunia. Dari
hasil analisis terhadap cerpen karya Ahmad Tohari dengan judul Paman Doblo
Merobek Layang-layang itu kita dapat mengetahui bahwa cerpen tersebut sudah
memunyai konstruksi-konstruksi yang kuat untuk menjaga keutuhan bentuknya.
Masing-masing konstruksi dalam cerpen tersebut tidak
tercerai, melainkan menjadi satu kesatuan yang menciptakan suatu totalitas (wholeness). Namun pada transformasinya,
tidak terdapat genre puisi di dalam cerpen tersebut karena tidak ada bentuk
parafrase. Cerpen tersebut mampu mengatur dirinya sendiri dengan semua
unsur-unsur yang ada di dalam tanpa ada unsur dari luar diri cerpen tersebut.
Sehingga dalam mengesaikan cerpen tersebut dapat dengan mudah kita menuliskan
kepiawaian Tohari membentuk cerpen. Namun di akhir cerita kita kehilangan
Tohari. Kita mendapatkan akhir cerita yang sangat biasa saja. Selain itu Tohari
tidak menyentuh apa yang ada dalam diri Paman Doblo secara detil.
DAFTAR PUSTAKA
Esten, Mursal. 1987. Kesusastraan
Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung :
Angkasa.
Kurniawan, Heru. 2009. Sastra
Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta : Graha Ilmu.
LAMPIRAN
PAMAN DOBLO MEROBEK LAYANG-LAYANG (Kompas, 6 Juli 1997)
Setelah melihat burung-burung kuntul terbang beriringan ke timur, saya
dan Simin sadar hari hampir senja. Maka, saya dan Simin mulai mengumpulkan kerbau-kerbau dan
menggiring mereka pulang. Simin melompat ke punggung si Paing, kerbaunya yang
paling besar tanpa melepaskan wayang rumput yang sedang dianyamnya. Saya naik
si Dungkul, kerbau saya yang bertanduk lengkung ke bawah. Di atas punggung kerbaunya,
Simin meneruskan kegemarannya menganyam wayang rumput. Sambil duduk
terangguk-angguk oleh langkah si Paing, Simin tetap asyik dengan kegemarannya.
Dari hutan jati tempat kami menggembala
kerbau, terlihat kampung kami jauh di seberang hamparan sawah yang kelabu
karena jerami mengering setelah panen. Tampak juga pohon bungur besar yang
tumbuh di tepi sungai yang setiap hari kami perangi. Sekelompok burung jalak melintas di atas kepala kami.
Sambil terbang, burung-burung itu berkicau dengan suara jernih dan sangat enak
didengar. Belalang beterbangan ketika kerbau kami melintas rumpun jerami.
Sampai ke tepi sungai, saya melihat Paman
Doblo sedang mandi berendam. Saya turun dari punggung Si Dungkul dan melepas celana.
Simin juga. Wayang rumput yang sudah sudah berbentuk sosok Wisanggeni, tokoh
pahlawan kebanggaan Simin, diletakkan bersama celananya di tanah. Dan,
kerbau-kerbau itu sudah lebih dulu masuk ke air dengan suara berdeburan.
Sebelum menyeberang, kerbau-kerbau memang harus berendam. Itu kebiasaan mereka
yang tak mungkin diubah. Kami juga mandi. Ternak dan penggembala berkubang
bersama. Langau-langau beterbangan di
atas kepala kerbau dan kepala kami juga.
Simin mulai pamer kepandaian main kunclungan. Kedua tangannya
menepuk-nepuk air menimbulkan irama rebana yang amat enak didengar. Saya mengimbanginya dengan mengayun tangan dalam air sehingga
terdengar suara mirip gendang. Plung-plung
pak, plung-plung byur, plung pak-pak-pak, plung-plung-plung byur. Dan,
permainan musik air kian gayeng
karena Paman Doblo bergabung. Meskipun sudah perjaka dia suka bermain bersama
kami. Dia sangat akrab dengan anak-anak.
Puas bermain, saya menggiring kerbau-kerbau menyeberang. Saya
tidak naik ke punggung Si Dungkul, tetapi berenang sambil menggandul ekornya.
Keasyikan menggandul di buntut kerbau melintas sungai dalam adalah pengalaman
yang tak pernah saya lewatkan. Sampaij di seberang, saya menengok ke belakang.
Saya lihat Simin sedang jengkel karena Si Paing tak mau bangkit. Binatang itu
agaknya masih ingin berlama-lama berendam. Simin makin jengkel. Dia naik ke
darat. Sebatang pohon singkong diambilnya. Saya tahu Simin benar-benar marah
dan siap memukul Si Paing. Namun, sebelum Simin melaksanakan niat, terdengar
suara yang mencegahnya.
“Jangan Min,” kata Paman Doblo dengan
senyumnya yang sangat disukai anak-anak. “SI Paing memang suka ngadat. Bila kamu ingin dia bangkit,
kamu tak perlu memukulnya. Cukuplah kamu kili-kili teteknya. Hayo, cobalah.”
Simin mengangguk. Dia mendekati kerbaunya yang tetap asyik
berendam. Nasihat Paman Doblo memang manjur. Ketika merasa ada rangsangan pada
teteknya, kerbau Simin melonjak, lalu cepat-cepat berenang menyeberang. Simin
tertawa, tetapi tangannya segera menyambar ekor Si Paing. Maka, dia terbawa ke
seberang tanpa mengeluarkan tenaga
kecuali untuk tawanya yang ruah.
“Untung ada Paman Doblo, ya,” bisik Simin
di telinga saya. “Kalau tidak, barangkali saya tak bisa pulang sampai hari
gelap. Paman Doblo memang baik dan banyak akal.”
Ya, untung
ada Paman Doblo. Ungkapan ini tidak hanya sekali-dua diucapkan oleh
anak-anak seperti saya dan Simin. Orang-orang tua di kampung kami juga sering
mengucapkan kata-kata itu karena Paman Doblo memang banyak jasa. Ketika ada
celeng masuk dan menggegerkan kampung, hanya Paman Doblo yang bisa mengatasi
masalah. Dengan sebatang kayu pemukul, Paman Doblo berhasil melumpuhkan babi
hutan itu. Pencuri juga enggan masuk kampung kami karena – demikian keyakinan
kami – mereka takut berhadapan dengan Paman Doblo yang dipercaya mahir bermain
silat. Ketika Bibi Liyah tercebut ke sumur, sementara orang-orang panik dan
berlarian mencari tangga, Paman Doblo langsung terjun dan mengangkat Bibi Liyah
sehingga dia tidak terlambat diselamatkan.
Kami, anak-anak juga percaya Paman Doblo selalu baik
terhadap kami. Maka, kami tak perlu sedih bila misalnya layang-layang kami
tersangkut di pohon tinggi. Kami tinggal melapor dan Paman Doblo dengan senyum
seorang paman yang manis akan memanjat pohon itu. Demikian, Paman Doblo adalah
nama untuk pertolongan, untuk rasa aman, dan untuk keakraban bagi anak-anak.
Orang-orang dewasa juga percaya akan kelebihan Paman Doblo. Buktinya, ketika
barisan hansip didirikan di kampung kami, semua orang sependapat Paman Doblo
adalah calon paling tepat untuk jabatan komandan.
Kebaikan Paman Doblo tetap saya kenang
meskipun saya, juga Simin, tidak lagi jadi gembala kerbau di tepi hutan jati.
Dalam perkembangan waktu, saya tersedot arus urbanisasi, kemudian hidup di kota
empat ratus kilometer dari kampung halaman. Sementara, Simin tetap tinggal di kampung
dan jadi carik desa.
Kemarin, Carik Simin muncul di rumah saya.
Kedatangan bekas teman sepermainan itu segera membawa ingatan saya kembali ke
masa anak-anak di kampung. Maka, malam hari dalam suasana kangen-kangenan, saya bertanya tentang banyak hal; apakah suara
burung hantu masih terdengar dari
pohon besar dikuburan bila senja datang. Atau, apakah menjelang matahari terbit
masih terdengar kokok ayam hutan dari padang perdu di tepi kampung. Juga,
apakah masih ada kerlap-kerlip ribuan kunang-kunang di atas hamparan sawah
ketika jatuh gerimis senja hari. Dan, tentu saya tak lupa bertanya tentang
Paman Doblo.
Carik Simin tampak gelisah ketika mendengar
pertanyaan saya terakhir. Tetapi, sambil menundukkan kepala, akhirnya keluar
juga jawabannya.
“Selain masalah pribadi yang akan saya
sampaikan nanti, bisa dibilang kedatangan saya kemari hanya untuk bercerita
tentang dia.”
“Begitu? Tak ada apa-apa dengan Paman
Doblo, bukan?”
“Tidak. Ah, saya harus bilang apa; Paman Doblo kini lain.
Dia tidak seperti dulu lagi. Dia sudah berubah. Saya merasa Paman doblo mulai
berubah tak lama setelah ada sebuah kilang mengangkat Paman Doblo menjadi
satpam. Paman Doblo diberi pakaian seragam, pisau bergagang kuningan, sepatu
laras, sabuk tentara, topi. Juga, peluit. Dan, akhirnya juga motor bebek baru.”
“Lalu, apa salahnya Paman Doblo menjadi
satpam? Bukannya kita harus senang bila Paman Doblo punya gaji dan hidup enak?”
“Kamu benar. Tak ada yang salah ketika
seseorang diangkat jadi satpam. Paman Doblo pun semula tak berubah oleh
kemudahan-kemudahan yang dia terima. Dia masih seperti dulu; ramah kepada semua
orang dan manis terhadap anak-anak. Kepada anak-anak yang minta limbah kilang
untuk kayu bakar, Paman Doblo melayani mereka dengan baik. Namun, inilah yang
kemudian terjadi; kebaikan Paman Doblo agaknya malah jadi awal perubahannya. Pemilik kilang, seorang pengusaha
kaya dari kota, melarang Paman Doblo terlalu bermurah hati kepada penduduk
sekitar. Dia hanya dibenarkan memberikan limbah yang berupa kulit kayu kepada
anak-anak. Selebihnya, harus dikumpulkan karena bisa dijual ke pabrik kertas
atau perusahaan pembuat genteng.”
“Dan, Paman Doblo, jatuh?”
“Pada mulanya dia tampak tertekan. Namun,
kemudian dia laksanakan juga keinginan majikannya. Perubahan pada dirinya pun
mulai tampak. Keramahan mulai surut dari wajahnya. Kekhawatiran akan kehilangan
terlalu banyak limbah membuat Paman Doblo selalu mewaspadai, bahkan mencurigai
setiap anak yang berada dekat kilang. Dan, kejadian terakhir kemarin malah menyangkut anak lelaki saya yang
baru naik kelas 3 SD.”
“Anakmu mencuri limbah?”
“Tidak. Layang-layang anak saya tersangkut
kawat berduri di atas pagar tembok kilang. Ingat, andaikan peristiwa itu
terjadi dulu ketika kita masih anak-anak, Paman Doblo tentu akan datang
menolong sambil senyum.”
“Dan, terhadap anakmu kemarin?”
“Paman Doblo datang dengan langkah gopoh dan mata membulat sehingga anak saya lari ketakutan hingga
terkencing-kencing. Layang-layang anak saya diraihnya, lalu dirobek hancur.
Anak saya yang hanya berani melihat Paman Doblo dari jauh, menangis. Nah, asal
kamu tahu; ketika mendengar pengaduan anak saya, hati ini terasa terobek-robek
lebih parah, lebih hancur.”
Saya hanya bisa mengerutkan alis karena
tiba-tiba ada rasa pahit yang harus saya telan. Paman Doblo kini tega merobek
layangan anak-anak? Iya? Pertanyaan itu berputar berulang-ulang karena sukar
masuk ke dalam nalar.
“Kamu sudah bicara dengan Paman Doblo?”
“Sudah. Saya merasa perlu segera menemui
dia untuk menjernihkan keadaan. Dan, yang paling penting, untuk menyampaikan
pertanyaan anak saya.”
“Anakmu bertanya apa?”
“Ah, pertanyaan seorang bocah; apakah jadi
satpam harus galak dan menyobek layangan anak-anak?”
“Dan, jawab Paman Doblo?”
Carik Simin tertawa. Tetapi, matanya
berkaca-kaca. Dia kelihatan begitu berat meneruskan kata-katanya.
“Paman Doblo memang sudah jauh berubah.
Untuk menjawab pertanyaan anak saya, dia berkata sambil berkacak pinggang.
“Saya tidak hanya bisa merobek layang-layang. Saya juga bisa merobek mulut
orang tua atau anak-anak kalau dia membahayakan keamanan kilang atau merugikan
kepentingan pemiliknya.”
Cerita Carik Simin membuat saya tercengang.
Tergambar senyum getir pada bibir Carik Simin. Matanya masih berkaca-kaca.
Kekecewaan Carik Simin segera mengimbas ke dada saya. Hambar. Sakit. Mendadak
kecewa. Entahlah.
Atau, sebenarnya saya merasa sangat berat
menerima kenyataan, kini Paman Doblo bisa berbuat kasar. Ia telah kehilangan
keakraban dan kelembutannya, juga terhadap anak-anak. Saya juga cemas apabila
Paman Doblo merasa harus mewaspadai setiap anak, dia akan kehilangan kemampuan
berbaik sangka. Ah, apa yang bisa terjadi di kampungku bila antara Paman Doblo
dan orang-orang sekitar kilang tak ada prasangka baik dan kasih sayang?
“Mas, pulang dan bicaralah dengan Paman doblo,” kata
Carik Simin dengan suara pelan dan parau. “Kamu masih ingin anak-anak kita
bilang, untung ada Paman Doblo,
bukan?”
Permintaan Carik Simin terdengar sebagai
tekanan halus dari suara jernih seluruh anak-anak kampung kami. Suara itu terus
terngiang. Terbayang anak Carik Simin ketika dia berdiri ketakutan,
terkencing-kencing, dan air matanya berderai karena melihat layang-layangnya
dirobek dengan galak oleh Paman doblo. Ya. Tetapi, saya merasa tak sanggup
berbuat apa-apa. Tiba-tiba saya sadar, Paman Doblo kini sudah punya posisi kuat
dan dia telah mengambil jarak dari kami. Dia sudah sepenuhnya jadi satpam
kilang yang harus mewaspadai semua semua orang luar, tak terkecuali anak-anak.
Dan, bagi dia, anak-anak kampung tak lagi jadi prioritas utama untuk dibela dan
dilindungi melainkan keamanan kilang dan kepentingan pemiliknya. Ini berarti
anak-anak kami tak mungkin lagi bilang, untung
ada Paman Doblo. Terasa ada sengatan menghujam hati, sengatan yang membuatg
saya bingung dan merasa tak berdaya. (Kompas, 6 Juli 1997)
Terimakasih atas infonya,,,tapi masih bingung bedanya struktural dan teori fiksi
BalasHapus