Selasa, 24 Juli 2012

ANALISIS STRUKTUR FIKSI CERPEN PAMAN DOBLO MEROBEK LAYANG-LAYANG KARYA AHMAD TOHARI DALAM ESAI DAN KRITIK



ANALISIS STRUKTUR FIKSI
CERPEN PAMAN DOBLO MEROBEK LAYANG-LAYANG
KARYA AHMAD TOHARI DALAM ESAI DAN KRITIK



I.       PENDAHULUAN


1.1Latar Belakang Masalah
Secara etimologis kesusastraan berarti karangan yang indah. “Sastra” (dari bahasa Sansekerta) artinya: tulisan, karangan, tetapi sekarang pengertian “kesusastraan” berkembang melebihi pengertian etimologis tersebut karena makna indah sangat luas maknanya. Sebuah ciptarasa yang indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya, dan strukturnya (Esten, 1987:7).

Seperti yang telah kita ketahui bentuk-bentuk kesusastraan meliputi puisi, cerita rekaan(fiksi), esai dan kritik, dan drama. Dalam prosa, suasana dan masalah-masalah lain dapat saja muncul di luar suasana dan masalah pokok yang ingin diungkapkan seorang pengarang dalam ciptasastranya. Cerita-rekaan (fiksi) dibedakan atas tiga macam bentuk, yakni cerita-pendek(cerpen), novel, dan roman. Cerpen merupakan pengungkapan suatu kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia – tidak dituntut perubahan nasib dari pelakunya – isinya merupakan suatu lintasan dari kehidupan manusia, yang terjadi pada suatu kesatuan waktu.

Ahmad Tohari, salah satu sastrawan Indonesia yang mampu go-internasional, sudah berusaha mempernalkan karya-karyanya – sekaligus menyuguhkan segenap teori-teori yang patut diteliti dalam berbagai kajian. Bahasan terdahulu telah membahas mengenai hakikat fiksi prosa, unsur semiotik cerpen, sosiologi dalam cerpen, dan pada bahasan ini akan dibahas mengenai struktur fiksi dalam cerpen karya Ahmad Tohari: Paman Doblo Merobek Layang-Layang yang diterbitkan Kompas – 6 Juli 1997.


Kemudian, dari pengkajian itu dapat pula diulas dalam bentuk esai, maupun kritik. Seperti yang telah dipelajari sebelumnya esai adalah suatu karanganyang berisi tanggapan-tanggapan, komentar, pikiran-pikiran tentang suatu peristiwa. Esai bersifat sugestif dan lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif. Ada pula esai yang merupakan studi – yang berisi suatu karangan mengenai penelitian terhadap sesuatu dan bersifat objektif. Menurut H. B. Yassin, kritik adalah pertimbangan baik dan buruk sebuah ciptasastra. Suatu kritik(sastra) yang baik harus lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif daripada memberikan vonis (Esten, 1987:13).

1.2    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat dikemukakan yaitu bagaimanakah struktur fiksi cerpen Paman Doblo Merobek Layang-Layang karya Ahmad Tohari dalam esai dan kritik?

1.3    Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan
1.      mengetahui apa itu struktur fiksi dan
2.    mendeskripsikan analisis struktur fiksi dalam cerpen Paman doblo Merobek Layang-Layang karya Ahmad Tohari dalam esai dan kritik.












 



II.                LANDASAN TEORI


2.1 Struktur dalam Sastra
Struktur disebut juga bentuk. Kejadian atau peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita dapat dimasukkan ke dalam isi, sedangkan penyusunan peristiwa-peristiwa tersebut dapat masuk ke dalam bentuk.Yang termasuk ke dalam struktur antara lain: alur, latar, pusat pengisahan, penokohan dan gaya bahasa. Antara isi dan struktur memunyai kedudukan dan kepentingan yang sama dalam penelitian dan penilaian. Nilai sebuah ciptasasra tidaklah ditentukan hanya oleh isi. Akan tetapi merupakan hasil dari tinjauan tentang isi dan struktur. Sebuah ciptarasa bernilai baik, bilamana isi (tema dan amanat) baik dan ditransformir (diungkapkan) ke dalam suatu struktur yang baik dan artistik (indah).

Sebuah ciptasastra yang bernilai ialah apabila adanya keharmonisan antara isi yang baik dengan struktur yang baik pula. Apa yang disajikan dan bagaimana menyajikannya adalah dua hal yang menentukan berhasil tidaknya sebuah ciptasastra. Kemudian faktor-faktor fantasi, imajinasi dan emosi menentukan pada ciptasastra tersebut.

Struktur (bentuk) tidaklah sama artinya dengan bagan, rangka dan konstruksi (bangunan). Pengertian struktur lebih luas dari itu. Kalau dengan isi dimaksudkan segala apa yang diungkapkan dalam sebuah ciptasatra, maka dengan srtuktur dimaksudkan tentang bagaimana cara mengungkapkannya.

Struktur hakikatnya berupa suatu konstruksi abstrak yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan dalam susunan tertentu,yang membentuk sebuah dunia. Menurut Piaget (Zaimar dalam Kurniawan, 2009:67-68), konsep struktur itu mempunyai tiga ciri penting:
1.   Struktur merupakan totalitas (wholeness), jadi unsur struktur tidak dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dapat saja suatu konstruksi terdiri dari bagian yang lebih kecil atau biasa disebut struktur bawahan, tetapi semua harus membentuk suatu kejadian. Jadi, struktur adalah suatu totalitas.
2.   Struktur dapat mengalami transformasi (transformation), jadi setelah melalui proses, struktur dapat berubah maka struktur bukanlah sesuatu yang statis.
3.   Struktur mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (self regulation), mempunyai kemampuan otoregulasi.

Mengacu pada perspektif cara pandang strukturalisme di atas, maka karya sastra sebagai “dunia dalam kata” juga merupakan sebuah struktur yang terbentuk dan dibangun oleh unsur-unsur yang menyeluruh, bertransformasi, dan berkemampuan mengatur dirinya sendiri: (1) keseluruhan (wholeness) dalam karya sastra terlihat pada kepaduan yang terjalin antarunsur yang membangun karya sastra, misalnya hubungan antara tokoh, alur, dan latar, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, selalu menyatu dan hadir dalam karya sastra (fiksi); (2) gagasan transformasinya (transformation) terlihat pada berubahnya suatu genre dalam karya sastra yang akan mengakibatkan perubahan genre puisi ke fiksi yang dilakukan dengan paraphrase akan menyebabkan perubahan unsur-unsurnya; (3) kemampuan mengatur dirinya sendiri (self regulation), yang dalam karya sastra dapat dilihat bahwa yang menentukan makna keseluruhan karya sastra dapat dilihat bahwa yang menentukan makna keseluruhan karya sastra adalah unsur-unsurnya sendiri, bukan unsur di luarnya. Artinya, tanpa bantuan unsur di luar dirinya, kita dapat mendefinisikan dan memaknai karya sastra berdasarkan unsur-unsur yang membangunnya secara padu.




2.2  Struktur Cerita-rekaan (Fiksi)
Unsur-unsur pembangun karya sastra (prosa fiksi) menurut Stalon  (dalam Kurniawan, 2009:70), meliputi fakta cerita (facts), tema (theme), dan sarana cerita (literary device).
1.      Fakta Cerita (Facts)
Dalam istilah yang lain, fakta cerita sering disebut sebagai struktur faktual yang unsur-unsurnya meliputi: tokoh ( characters), alur (plot), dan latar (setting). Sebagai fakta cerita, tiga unsur ini juga, yang pada hakikatnya, membentuk fakta realita dari kehidupan: manusia sebagai tokoh; ruang dan tempat ( latar); dan pergerakan dari satu ruang ke ruang lain (alur). Dengan demikian, karya sastra ( prosa fiksi) sebagai dunia dalam kata dapat dipersepsi sebagai miniatur dari kehidupan, yang selalu menghadirkan tiga unsur ini secara mutlak, sehinnga kehadiran fakta cerita merupakan suatu unsur yang secara langsung dapat diidentifikasikan dalam prosa fiksi.
·      Alur: dalam arti luas, alur adalah keseluruhan sekuen (bagian) peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita, yang rangkaian peristiwa yang terbentuk karena proses sebab akibat ( kausal) dan peristiwa-peristiwa lainnya ( Stanton dalam Kurniawan, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa alur itu bukanlah rangkaian waktu dalam cerita, melainkan rangkaian peristiwa yang membentuk cerita, dan peristiwa-peristiwa dalam cerita ini mempunyai hubungan yang erat, karena kehadiran satu peristiwa menyebabkan hadirnya peristiwa lainya. Jalinan antar peristiwa inilah yang oleh Stanton disebut sebagai alur. Alur dalam prosa fiksi itu memiliki tiga bagian: awal, tengah, dan akhir. Alur dalam cerita biasanya mempunyai kaidah-kaidahnya sendiri. Kenny (1966) (Nurgiyantoro dalam Kurniawan, 2009) menjelaskan bahwa kaidah alur dalam cerita itu meliputi:
1.    Kemasukakalan (plausibility); bahwa cerita memiliki kemasukakalan jika memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika benar juga sesuai dengan kehidupan faktual, sekalipun pada bagian ini tidak mutlak.
2.    Rasa ingin tahu (suspense); suspense merupakan perasaan semacam kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi simpati oleh pembaca. Keberadaan suspense akan mendorong, menggelitik, dan memotivasi pembaca untuk setia mengikuti cerita, dan mencari jawaban rasa ingin tahu terhadap kelanjutan cerita.
3.    Adanya kejutan (surprise); merupakan peristiwa-peristiwa yang berisi kejutan dalam cerita, yang peristiwanya bisa saja di luar dugaan pembaca. Kejutan ini hadir sebagai warna untuk membuat pembaca semakin menyukai cerita. Dengan kejutan-kejutan, maka cerita menjadi tidak monoton dan membosankan. Oleh karenanya, kejutan merupakan hal yang penting keberadaannya dalam sebuah cerita, dan biasanya dinanti-nanti pembaca.
4.    Kepaduan (unity); menyarankan bahwa berbagai unsur yang ditampilkan dalam alur haruslah memiliki kepaduan. Artinya, mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh, sehingga keberadaan antar unsurnya menentukan keberadaan unsur-unsur yang lainnya.

·      Tokoh: tokoh dalam cerita ini merujuk pada orang atau individu yang hadir sebagai pelaku dalam sebuah cerita. Jumlah tokoh dalam cerita ini bervariatif, ada yang banyak, misalnya tokoh-tokoh dalam novel, atau bisa juga sedikit, misalnya tokoh dalam cerita pendek atau novel psikologis. Dari kevariatifan jumlah tokoh yang hadir dalam cerita, hal yang pasti, dalam cerita pasti ada tokoh sentral (central character) dan tokoh tambahan (peripheral character).

Tokoh utama adalah tokoh yang keberadaannya berhubungan dengan peristiwa dalam cerita (Stanton). Dengan perkataan lain, tokoh sentral merupakan tokoh yang menjadi pusat perhatian cerita, sehingga mempunyai posisi dominan sebagai tokoh yang banyak terlibat dalam peristiwa cerita atau banyak diceritakan. Tokoh utama ini merupakan tokoh yang mempunyai karakter bulat (round character), yaitu tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya dan sisi jati dirinya dan mempunyai kepribadian dan karakter yang kompleks. Biasanya, tokoh utama ini hadir dalam dua peran, yaitu sebagai tokoh protagonis, yaitu tokoh yang biasanya menjadi hero (pahlawan), tokoh yang mempresentasikan nilai-nilai dan harapan pembaca, dan tokoh antagonis, yaitu tokoh yang menjadi lawan dari tokoh protagonis, yaitu tokoh yang keberadaannya tidak diharapkan oleh pembaca karena keberadaannya melawan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh tokoh protagonis.

Tokoh tambahan adalah kebalikan dari tokoh utama, merupakan tokoh yang keberadaannya hanya sebagai penambah atau pelengkap dari tokoh utama. Kehadiran tokoh tambahan ini biasanya berfungsi untuk menjelaskan keberadaan tokoh-tokoh utama, dan porsipenceritaannya hanya sedikit, sehingga karakter yang ada pun bersifat datar (flat character), sederhanya dan tidak kompleks sebagaimana karakter tokoh utama.

·      Latar: menurut Stanton, latar cerita adalah lingkungan, yaitu dunia cerita sebagai tempat terjadinya peristiwa. Dalam latar inilah segala peristiwa yang menyangkut hubungan antar tokoh terjadi.Latar dalam cerita biasanya akan menyangkut tiga hal; (1) latar tempat, yaitu latar yang merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dan menunjuk lokasi tertentu secara geografis, misalnya di daerah dan tempat tertentu seperti: rumah, sekolah, nama desa, kota, dan sebagainya; (2) latar waktu; latar waktu ini berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita. Masalah “kapan” ini biasanya berhubungan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah  (3) latar sosial; merupakan latar yang merujuk pada kondisi sosial masyarakat sebagai tempat cerita. Kondisi sosial masyarakat ini mencakup; kebiasaan masyarakat dan adat-istiadat yang dijadikan sebagai latar cerita.

2. Tema (Theme)
Dalam arti yang paling sederhana, tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar yang terdapat dalam cerita (Sayuti dalam Kurniawan, 2009:75). Sementara itu, Stanton dalam Kurniawan (2009) menyatakan bahwa tema dalam cerita ini berhubungan dengan makna pengalaman hidup. Tema mungkin sesuatu yang membuat pengalaman dapat diingat, misalnya mengenai cinta, penderitaan, ketakutan, kematangan hidup, dan pengkhianatan.

Tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik, dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang bersangkutan, yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik atau situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik lainnya. Tema merupakan dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita (Nurgiantoro).

Tema sebagai ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).Tema merupakan dasar cerita yang menjadi falsafah hidup dalam sebuah cerita. Tema cerita mirip dengan falsafah hidup yang matang, dan struktur faktual (fakta cerita) mirip dengan realitas. Hal ini mengindikasikan bahwa tema adalah suatu nilai yang tersirat dalam cerita “makna cerita”, yang terdapat dalam kesatuan fakta cerita.

Sayuti dalam Kurniawan (2000:76) menjelaskan bahwa tema adalah makna yang dilepaskan oleh suatu cerita atau makna yang ditemukan oleh dan dalam suaru cerita. Tema merupakan implikasi yang penting bagi suatu cerita secara keseluruhan, bukan sebagian dari suatu certia yang dapat dipisahkan. Dalam kaitannya dengan pengalaman pengarang, tema adalah sesuatu yang diciptakan oleh pengarang sehubungan dengan pengalaman total yang dinyatakannya.

Tema dalam fiksi, umumnya, diklasifikasikan menjadi lima jenis; (1) tema jasmaniah (physical); yaitu tema yang cenderung berkaitan dengan tubuh manusia sebagai molekul, zat, dan jasad, contoh cerita dengan tema ini, misalnya novel-novel populer tentang percintaan remaja; (2) tema moral (organic); merupakan tema yang berhubungan dengan moral manusia, yang wujudnya tentang hubungan antara pria-wanita; (3) tema sosial (social); merupakan tema yang berada diluar masalah pribadi, misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda; (4) tema egoik (egoic); merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial; (5) tema ketuhanan (divine); merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan.

Dalam menafsirkan tema dalam sebuah cerita, menurut Stanton, haruslah didasarkan pada hal-hal berikut ini.
1. Penafsiran terhadap tema cerita harus benar-benar memperhatikan setiap uraian yang menonjol dalam cerita dan kegagalan dalam menafsirkan tema terjadi karena pengabaian sejumlah peristiwa penting yang terdapat dalam cerita.
2. Penafsiran terhadap tema sebaiknya tidak bertentangan dengan setiap uraian cerita.
3.   Penafsiran tema sebaiknya tidak bergantung pada keterangan yang benar-benar ada atau tersirat dalam cerita.
4.   Penafsiran tema harus didasarkan secara langsung pada cerita.

Keempat hal di atas merupakan dasar yang harus dilakukan pembaca dalam menafsirkan tema dalam cerita. Karena tema merupakan makna cerita, maka tema bisa dipahami dengan proses pembacaan yang menyeluruh dengan cermat memahami setiap unsur yang membangun karya sastra.

3.  Sarana Cerita (Literary Device)
Sarana cerita merupakan cara-cara yang digunakan pengarang dalam menyeleksi dan menyusun bagian-bagian cerita, sehingga tercipta karya sastra yang bermakna. Tujuannya adalah agar pembaca dapat melihat fakta-fakta cerita melalui sudut pandang pengarang; melihat arti fakta cerita sehingga dapat bertukar pendapat tentang pengalaman yang terlukiskan. Menurut Stanton, yang termasuk dalam sarana ini meliputi: judul dan sudut pandang.
a.    Judul; pada hakikatnya, judul merupakan hal yang pertama dibaca oleh pembaca cerita. Judul merupakan elemen lapisan luar dari cerita. Oleh karena itu, judul merupakan elemen yang paling dikenali oleh pembaca (Sayuti dalam Kurniawan, 2009), sehingga pembaca selalu berharap bahwa judul dalam cerita itu menjadi acuan sebagai pencerminan terhadap isi ceritanya secara keseluruhan. Akan tetapi, judul sebagai cermin isi keseluruhan dari suatu cerita tidak bersifat mutlak, seringkali judul dalam cerita secara arti tidak berhubungan dengan isi, sekalipun mungkin secara metaforik atau makna kiasannya mempunyai relevansi.

b.   Sudut pandang (point of view), Abrams dalam Kurniawan (2009) menyarankan pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara dan/atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah cerita pada pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya adalah strategi, teknik, dan siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam cerita, memang, milik pengarang sebagai wujud pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu, dalam karya fiksi, disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita.
 
Secara garis besar, sudut pandang dalam cerita dibedakan menjadi dua: sudut pandang cara bercerita orang pertama (first-person) dengan penceritaan menggunakan gaya ”aku”; dan sudut pandang cara bercerita orang ketiga (third-person), dengan penceritaan menggunakan gaya ”dia”. Dengan berbagai variasinya, maka muncul sudut pandang campuran, yaitu menggabungkan sudut pandang orang pertama dan orang ketiga.

Stanton dalam Kurniawan (2009:79) membagi sudut pandang dalam cerita menjadi empat tipe utama. Empat sudut pandang itu adalah:
1. Aku sebagai tokoh utama (first-person-central); tokoh utama mengisahkan cerita dalam kata-katanya sendiri.
2. Aku sebagai tokoh bawahan (first-person-peripheral); tokoh bawahan mengisahkan ceritanya.
3. Ia sebagai pencerita terbatas (third-person-limited); pengarang mengacu semua tokoh dalam bentuk orang ketiga (ia atau mereka), tetapi hanya menceritakan apa yang dapat dilihat, didengar, atau dipikirkan oleh seorang tokoh.
4. Ia sebagai pencerita yang serba tahu (third-person-omniscient); pengarang mengacu pada setiap tokoh dalam bentuk orang ketiga (dia atau mereka), dan menceritakan apa yang didengar, dilihat, dan dipikirkan oleh beberapa tokoh, seakan-akan menceritakan peristiwa tanpa kehadiran tokoh.

Hakikat sebuah cerita-rekaan (fiksi) ialah bercerita. Ada yang diceritakan dan ada cara penceritaan. Penceritaan ini termasuk dalam struktur (Esten, 1978:25-26). Beberapa unsur struktur cerita-rekaan adalah sama seperti pendapat di atas:
a.       Alur
b.      Penokohan/perwatakan
c.       Latar
d.      Pusat Pengisahan (Point of View)
e.       Gaya Bahasa


Alur adalah urutan peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita-rekaan. Alur dari sebuah cerita-rekaan terdiri atas:
-          situasi (mulai melukiskan keadaan);
-          generating circumstances (peristiwa-peristiwa mulai bergerak);
-          rising action (keadan mulai memuncak)
-          klimaks (mencapai titik puncak)
-          denouement (pemecahan soal, penyelesaian)

Penokohan ialah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita-rekaan. Ada beberapa cara dalam menggambarkan tokoh:
1.      Secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokohnya.
2.      Secara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung menceritakan watak tokoh-tokoh ceritanya. Misalnya melalui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk lahir melalui percakapan (dialog) melalui perbuatan sang tokoh.

Pusat pengisahan, maksudnya adalah sebagai siapa pengarang dalam cerita. Meneliti pusat pengisahan berarti pula meneliti pertalian relasi antara pengarang dengan ceritanya. Ada beberapa jenis pusat pengisahan:
1.      Pengarang sebagai tokoh utama.
2.      Pengarang sebagai tokoh samping.
3.      Pengarang sebagai orang ketiga (berdiri di luar cerita).
4.      Campur aduk, kadang-kadang masuk ke dalam cerita, kadang-kadang di dalam atau di luar cerita.

Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang mengungkapkan suatu pengertian dalam kata (frase), kelompok kata, dan kalimat. Keccenderungan gaya bahasa ciptasastra modern adalah baru, hidup, dan segar. Ungkapan-ungkapan yang klise (sudah sering kali digunakan) dihindari. Gaya bahasa sesungguhnya berasal dari dalam batin seseorang. Seseorang yang melankolis (pemurung) memiliki gaya bahasa romantis beralun-alun.
(Esten, 1987: 25-28)

Nurgiantoro mengemukakan bahwa dalam menganalisis karya sastra, dalam hal ini fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengaji, dan mendeskripsikan fungsi hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural tidak cukup hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah fiksi, misalnya plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual.


III.             PEMBAHASAN


3.1    Struktur Fiksi dalam Cerpen Paman Doblo Merobek Layang-Layang Karya Ahmad Tohari

Dari berbagai teori di atas, unsur-unsur dalam struktur fiksi adalah sama. Semua mencakup analisa tentang unsur-unsur pembangun karya sastra. Secara umum unsur-unsur tersebut yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Menurut Stalon, unsur pembangun sastra yaitu (1) fakta cerita: tokoh, alur, dan latar, (2) tema, dan (3) sarana cerita: judul dan sudut pandang. Sama halnya seperti Esten yang mengemukakan beberapa unsur struktur cerita-rekaan (fiksi) antara lain alur, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.

Kemudian Nurgiantoro juga mengemukakan bahwa analisis struktural tidak cukup hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah fiksi, misalnya plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual.

Hasil analisis cerpen Paman Doblo Merobek Layang-layang karya Ahmad Tohari berdasarkan struktur fiksinya dapat dijelaskan sebagai berikut.





Berdasarkan pendapat Stalon dan Esten
(1)    Fakta cerita
·      Tokoh dalam cerpen tersebut yaitu saya, Simin, dan Paman Doblo. Selain itu, ada juga tokoh tambahan  yang berfungsi untuk menjelaskan keberadaan tokoh-tokoh utama, dan porsi penceritaannya hanya sedikit, sehingga karakter yang ada pun bersifat datar (flat character), sederhanya, dan tidak kompleks sebagaimana karakter tokoh utama, yaitu anak-anak, anak Simin, dan pengusaha kilang.
Tokoh saya dan Simin memunyai watak yang baik. Sehingga dalam penokohannya, saya dan Simin sebagai pemeran protagonist. Awalnya Paman Doblo orang yang sangat baik kepada semua orang, namun sifat dan sikapnya menjadi berubah kasar dan perlahan jadi jahat sehingga penokohannya menjadi tritagonis.

·      Alur dalam cerpen tersebut merupakan alur maju-mundur. Bermula dari Saya dan Simin yang masih suka menggembalakan kerbau dan bermain kunclungan sewaktu kecil, percapakan antara Carik simin dan Saya yang memutar kisah perubahan sikap Paman Doblo,  hingga kenyataan bahwa anak-anak Saya dan Simin tak mungkin lagi mengatakan untung ada Paman Doblo. Oleh Esten alur adalah urutan peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita-rekaan. Alur dari sebuah cerita-rekaan terdiri atas:
-situasi (mulai melukiskan keadaan), saat awal cerita mengenai kebaikan-kebaikan Paman Doblo yang mengakibatkan anak-anak dan orang-orang menyebut ”untung ada Paman Doblo”;
-generating circumstances (peristiwa-peristiwa mulai bergerak) yaitu pada kedatangan Carik Simin ke rumah tokoh Saya yang mulai menceritakan perubahan sikap Paman Doblo;
-rising action (keadan mulai memuncak) terjadi saat percakapan antara Carik Simin dengan Saya yang menceritakan tentang paman Doblo lebih lanjut,
-klimaks (mencapai titik puncak) saat tokoh Saya merasa sangat trenyuh dan sedih sekaligus sakit mendengar cerita Carik Simin bahwa Paman Doblo telah tega berkata kasar pada Carik Simin;
-denouement (pemecahan soal, penyelesaian) saat Carik Simin meminta Saya pulang dan berbicara kepada Paman Doblo. Saya menjadi bingung dan tak berdaya karena sudah tak mungkin lagi anak-anak akan bilang ”untung ada Paman Doblo”.

·      Latar dalam cerpen tersebut yaitu (1) latar tempat: terjadi di kubangan (di desa), rumah Saya (di kota),  dan kilang pengolahan kayu; (2) latar waktu: tidak disebutkan secara pasti pagi/siang/sore/malam. Pembaca diajak untuk memperkirakannya. Pada umumnya para penggembala kerbau pulang adalah sore hari dan biasanya pula teman lama yang bertamu ke rumah berkunjung pada malam hari. (3) latar sosial: kondisi masyarakat pedesaan, adanya sikap tolong-menolong, serta kebiasaan kangen-kangenan antarteman lama.

(2)    Tema pada cerpen ini berjeniskan tema moral yang berhubungan dengan moral manusia. Sehingga tema sederhana yang dapat dirumuskan yaitu kemanusiaan yang menjadi tema mayor. Untuk tema minornya dapat dirumuskan dari menggarisbawahi perubahan drastis sikap Paman doblo karena suatu tuntutan, sehingga dapat dikatakan cerita tersebut bertemakan kerapuhan jati diri seseorang.

(3)    Sarana Cerita
·      Judul
Judul cerpen karya Ahmad Tohari yaitu Paman Doblo Merobek Layang-layang. Tohari membiarkan pembaca selalu berharap bahwa judul dalam cerita itu menjadi acuan sebagai pencerminan terhadap isi ceritanya secara keseluruhan. Judul tersebut memang berhubungan dengan isi dan peristiwa dalam ceritanya, tetapi ada kemungkinan lain mengapa Tohari merumuskan judul seperti itu. Judul tersebut dapat pula dilihat secara metaforik. Dengan kata lain, judul tersebut mengiaskan sesuatu. Layang-layang digambarkan sebuah benda yang tenang saat sudah di udara. Layang-layang itu seperti Paman Doblo, yang segala ketenangan dan kebaikannya telah dirobeknya sendiri.

·      Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan adalah cara bercerita orang pertama (first-person) karena dalam penceritaan, Tohari menggunakan gaya ”saya”. Selain itu, ”saya” menjadi serba tahu saat menceritakan perasaan yang ada dalam hati Simin atau apa yang terjadi pada Simin. Pangarang pun menggunakan sudut orang ketiga karena terkadang tokoh saya berada di luar penceritaan.

3.2    Analisis Struktur Fiksi Cerpen Paman Doblo Merobek Layang-layang karya Ahmad Tohari dalam Bentuk Esai dan Kritik

1.      Esai
Ahmad Tohari: Berasaskan Kerendahan Hati

Kiprah cerpen saat ini seperti tidak ada habisnya. Bahkan cerpenis-cerpenis bermunculan dari seluruh penjuru tanah air. Dan pastinya, nama-nama yang sudah dikenal itu telah melewati tahap yang dimaksud “pengritikan karya”. Hasil tangan mereka sudah pasti dicari dan banyak menjadi konsumsi khalayak – walaupun hanya di-resensi atau di-kritik – mereka sudah memiliki “nama”. Tak mungkin pula karya-karya yang apik itu tanpa cacat. Mereka disebut cerpenis pun tak lepas dari segala potensi, intelektualitas, kemampuan mengapresisi diri, dan kerendahan hati. Seperti terjadi tarik ulur antara sang maestro dengan bibit baru penulis cerpen, begitulah kenyataannya. Banyaknya promo karya-karya terbaru tak jua mengalahkan gegap-gempitanya eksistensi para senior yang juga para pakar.
Pada dasarnya, kita pun belum mengenal jauh bagaimana perjalanan sastra. Masih sulit untuk mendalami sastra, terlebih cerpen. Pada masa Jepang cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa penulis cerpen yang terkenal di antaranya adalah H.B. Jassin yang menulis cerpen “Anak Laut”. Sebelum perang Jassin menulis cerpen dalam Poejangga Baroe yang berjudul “Nasib Volontaire “ (1941).Pengarang cerpen yang lain Bakri Siregar. Cerpennya yang pertama berjudul “Ditepi Kawah”. Pada masa pendudukan Jepang cerpen itu dibukukan dengan judul “Jejak Langkah” (1953). Sedikit memperkenalkan, beberapa cerpenis Lampung di antaranya Arman Az, cerpenis sekaligus penyair Isbedy Stiawan Z.S, F. Moses. Mereka berangkat dari ciri khas masing-masing, yang dapat dilihat dari gaya penulisannya.
Dari sekian banyak buah tangan dari para penulis cerita, kita cenderung menikmati isinya. Para remaja fokus bersuka-ria dengan cerita-cerita yang berkenaan dengan kisah-kisahnya: jatuh cinta, patah hati, dendam. Mungkin juga sama seperti pembaca dengan sifat patriotisme – cenderung mencintai dan mengoleksi cerita bernada perang, sosial-dramatik tanah air, juga pertahanan kekuasaan negara. Kemudian, muncul pertanyaan: bagaimana mereka mengapersiasi jungkir-balik penulis? Apakah sekedar menikmati pengalaman hidup yang terlanjur sama dengan isi cerita? Setidaknya muncul pertanyaan di hati mereka: bagaimana cerpen ini tampak lucu? Bagaimana cerpen ini terkesan brutal? Bagaimana konflik pada cerita ini bisa sesuai dengan yang sedang kurasakan? Siapa sih penulisnya? Apa teknik yang digunakan cepenis bisa mengasilkan cerita sebagus ini? Yaaa.. walaupun agak berlebih, namun pertanyaan-pertanyaan itu dirasa cukup untuk tahu bagaimana merasakan suasana hati penulis.
Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya. Ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataran sastra Indonesia. Hal inilah yang menjadi latar sosial dalam cerpen Paman Doblo Merobek Layang-layang.
Tanpa ditimbang-timbang lagi karyanya sudah merupakan hasil yang tidak perlu diragukan lagi. Dan dalam cerpen tersebut pilihan judul yang tepat sudah menjadi sarana yang baik dalam penceritaannya. Tohari menggunakan dirinya sendiri (Saya) dalam memperkenalkan Simin dan Paman Doblo. Hal ini terkesan sangat ringan dan mudah digunakan orang dalam hal penggunaan sudut pandang penceritaan. Sebab, kembali pada kerendahan hati tohari memperkenalkan latar kehidupannya, kita bisa bilang “untung ada Paman Tohari”.

2.      Kritik
Perjalanan Struktur Cerita-Rekaan

Cerita pendek Indonesia makin mengukuhkan jati dirinya. Kehadirannya kini telah melampaui penerbitan novel dan drama. Pembicaraan mengenai cerita pendek mesti dilekatkan pada rel-nya sendiri. Oleh karena itu, kajian kritis terhadap cerita pendek dan pembicaraan dalam institusi (pendidikan) sastra mesti berada dalam kotaknya sendiri.
Dalam konteks membangun kritik, masalah struktur menjadi salah satu wiayah garapan yang berpusat pada teks. Wilayah lainnya menyangkut pembaca, pengarang, dan penerbit. Dalam pembicaraan menyangkut pengarang, termasuk di dalamnya persoalannya tokoh dan ketokohan seseorang. Jadi, ketika kita hendak membicarakan Ahmad Tohari, atau siapa pun, kita akan menelusuri kulturnya, pencapaian kualitas struktur yang mampu menciptakan estetik alam ragam sastra yang dimasukinya, tempatnya yang pas dalam sejarah sastra, dan berbagai hal lain yang melingkupinya.
Kemunculan banyaknya cerpenis baru makin menantang eksistensi penulis-penulis senior. Hal ini tidak hanya menyangkut style yang masing-masing terasa begitu khas, tetapi juga menyangkut konstruksi-konstruksi yang mampu membopong kualitas tulisannya. Bagaimanakah perjalanan struktur fiksi pada cerpen Indonesia? Jadi, diskusi mengenai kecerpenan akan menjadi penting untuk membicarakan struktur dalam cerpen.
Bagaimana mungkin cerpen-cerpen banyak bermunculan tanpa ada pengkajian kritis yang menyusulnya terlebih dahulu? Toh karya-karya sang maestro menulis pun masih melalui tahap pengkritikan. Padahal media masa justru menjadi bagian penting dalam reproduksi karya sastra (cerpen, puisi, dan cerita bersambung). Tahun 1950-an, cerpen Indonesia makin mapan keberadaannya. Derasnya pengaruh asing, munculnya semangat kedaerahan, dan terbitnya media masa – termasuk majalah prosa dan cerita pendek – yang waktu itu dipelopori oleh Ajib Rosidi telah member kesempatan munculnya cerpenis dari pelosook tanah air. Bersamaan dengan itu, adanya ruang kebebasan untuk berekspresi mendorong keberanian untuk melakukan eksperimen. Terlepas dari sesuai-tidaknya struktur dalam tulisan mereka.
Secara struktural, inovasi yang dilakukan lebih banyak menyangkut tema cerita yang masih ada keterkaitan pada konvensi. Terlepas dari situ, akan menjadi baik apabila tema sederhana yang disuguhkan dibarengi dengan kejutan-kejutan yang memeriahkan suasana cerita pendek Indonesia. Seperti Tohari yang mengangkat unsur kemanusiaan dalam cerpennya yang berjudul Paman Doblo Merobek Layang-layang, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa Tohari menggarisbawahi nilai-nilai moral di dalamnya.
Jika ditelusuri kembali, cerpen tersebut sangat ringan dan mudah dikonsumsi untuk anak-anak atau siswa dalam dunia pendidikan. Tetapi menyangkur gereget masing-masing tokohnya, rupanya masih perlu kita kritisi. Paman Doblo yang menjadi sorotan utama dalam cerpennya masih belum kentara jati dirinya. Paman Doblo hanya menjadi seorang yang dihakimi oleh dua orang tokoh lain, tanpa kita tahu apa yang dirasakan Paman Doblo dalam cerita tersebut. Jelas di sini konstruksi bangunan pada cerpen Tohari masih belum kokoh.
Tak hanya sampai di situ. Konstruksi akhir dari cerpen Tohari pun masih perlu dipertanyakan mengenai kesesuaiannya dengan daya tangkap anak-anak. Apakah anak-anak perlu dipaksa untuk menjadi dewasa dalam memahami perubahan diri seseorang? Dalam hal ini yang berubah adalah Paman Doblo. Apakah Paman Doblo benar-benar sudah tiada di mata anak-anak? Atau, bagaimana kelanjutan cerita yang pas?
Hal itu menjadi perhatian serius bagi para pandatang baru di dunia cerpen. Bukankah struktur cerita-rekaan seperti cerpen masih harus memperhatikan kekokohan unsur-unsur yang ada di dalamnya?

IV.              SIMPULAN


Berdasarkan pembahasan dan analisis di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa struktur fiksi tidak dapat melupakan hakikat struktur itu sendiri. Struktur hakikatnya berupa suatu konstruksi abstrak yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan dalam susunan tertentu,yang membentuk sebuah dunia.  Dari hasil analisis terhadap cerpen karya Ahmad Tohari dengan judul Paman Doblo Merobek Layang-layang itu kita dapat mengetahui bahwa cerpen tersebut sudah memunyai konstruksi-konstruksi yang kuat untuk menjaga keutuhan bentuknya.

Masing-masing konstruksi dalam cerpen tersebut tidak tercerai, melainkan menjadi satu kesatuan yang menciptakan suatu totalitas (wholeness). Namun pada transformasinya, tidak terdapat genre puisi di dalam cerpen tersebut karena tidak ada bentuk parafrase. Cerpen tersebut mampu mengatur dirinya sendiri dengan semua unsur-unsur yang ada di dalam tanpa ada unsur dari luar diri cerpen tersebut. Sehingga dalam mengesaikan cerpen tersebut dapat dengan mudah kita menuliskan kepiawaian Tohari membentuk cerpen. Namun di akhir cerita kita kehilangan Tohari. Kita mendapatkan akhir cerita yang sangat biasa saja. Selain itu Tohari tidak menyentuh apa yang ada dalam diri Paman Doblo secara detil.









DAFTAR PUSTAKA

Esten, Mursal. 1987. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.


Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.






 



LAMPIRAN




PAMAN DOBLO MEROBEK LAYANG-LAYANG (Kompas, 6 Juli 1997)

Setelah melihat burung-burung kuntul terbang beriringan ke timur, saya dan Simin sadar hari hampir senja. Maka, saya dan Simin mulai mengumpulkan kerbau-kerbau dan menggiring mereka pulang. Simin melompat ke punggung si Paing, kerbaunya yang paling besar tanpa melepaskan wayang rumput yang sedang dianyamnya. Saya naik si Dungkul, kerbau saya yang bertanduk lengkung ke bawah. Di atas punggung kerbaunya, Simin meneruskan kegemarannya menganyam wayang rumput. Sambil duduk terangguk-angguk oleh langkah si Paing, Simin tetap asyik dengan kegemarannya.
Dari hutan jati tempat kami menggembala kerbau, terlihat kampung kami jauh di seberang hamparan sawah yang kelabu karena jerami mengering setelah panen. Tampak juga pohon bungur besar yang tumbuh di tepi sungai yang setiap hari kami perangi. Sekelompok burung jalak melintas di atas kepala kami. Sambil terbang, burung-burung itu berkicau dengan suara jernih dan sangat enak didengar. Belalang beterbangan ketika kerbau kami  melintas rumpun jerami.
Sampai ke tepi sungai, saya melihat Paman Doblo sedang mandi berendam. Saya turun dari punggung Si Dungkul dan melepas celana. Simin juga. Wayang rumput yang sudah sudah berbentuk sosok Wisanggeni, tokoh pahlawan kebanggaan Simin, diletakkan bersama celananya di tanah. Dan, kerbau-kerbau itu sudah lebih dulu masuk ke air dengan suara berdeburan. Sebelum menyeberang, kerbau-kerbau memang harus berendam. Itu kebiasaan mereka yang tak mungkin diubah. Kami juga mandi. Ternak dan penggembala berkubang bersama. Langau-langau beterbangan  di atas kepala kerbau dan kepala kami juga.
Simin mulai pamer kepandaian main kunclungan. Kedua tangannya menepuk-nepuk air menimbulkan irama rebana yang amat enak didengar. Saya mengimbanginya dengan mengayun tangan dalam air sehingga terdengar suara mirip gendang. Plung-plung pak, plung-plung byur, plung pak-pak-pak, plung-plung-plung byur. Dan, permainan musik air kian gayeng karena Paman Doblo bergabung. Meskipun sudah perjaka dia suka bermain bersama kami. Dia sangat akrab dengan anak-anak.
Puas bermain, saya menggiring kerbau-kerbau menyeberang. Saya tidak naik ke punggung Si Dungkul, tetapi berenang sambil menggandul ekornya. Keasyikan menggandul di buntut kerbau melintas sungai dalam adalah pengalaman yang tak pernah saya lewatkan. Sampaij di seberang, saya menengok ke belakang. Saya lihat Simin sedang jengkel karena Si Paing tak mau bangkit. Binatang itu agaknya masih ingin berlama-lama berendam. Simin makin jengkel. Dia naik ke darat. Sebatang pohon singkong diambilnya. Saya tahu Simin benar-benar marah dan siap memukul Si Paing. Namun, sebelum Simin melaksanakan niat, terdengar suara yang mencegahnya.
“Jangan Min,” kata Paman Doblo dengan senyumnya yang sangat disukai anak-anak. “SI Paing memang suka ngadat. Bila kamu ingin dia bangkit, kamu tak perlu memukulnya. Cukuplah kamu kili-kili teteknya. Hayo, cobalah.”
Simin mengangguk. Dia mendekati kerbaunya yang tetap asyik berendam. Nasihat Paman Doblo memang manjur. Ketika merasa ada rangsangan pada teteknya, kerbau Simin melonjak, lalu cepat-cepat berenang menyeberang. Simin tertawa, tetapi tangannya segera menyambar ekor Si Paing. Maka, dia terbawa ke seberang tanpa mengeluarkan tenaga  kecuali untuk tawanya yang ruah.
“Untung ada Paman Doblo, ya,” bisik Simin di telinga saya. “Kalau tidak, barangkali saya tak bisa pulang sampai hari gelap. Paman Doblo memang baik dan banyak akal.”
Ya, untung ada Paman Doblo. Ungkapan ini tidak hanya sekali-dua diucapkan oleh anak-anak seperti saya dan Simin. Orang-orang tua di kampung kami juga sering mengucapkan kata-kata itu karena Paman Doblo memang banyak jasa. Ketika ada celeng masuk dan menggegerkan kampung, hanya Paman Doblo yang bisa mengatasi masalah. Dengan sebatang kayu pemukul, Paman Doblo berhasil melumpuhkan babi hutan itu. Pencuri juga enggan masuk kampung kami karena – demikian keyakinan kami – mereka takut berhadapan dengan Paman Doblo yang dipercaya mahir bermain silat. Ketika Bibi Liyah tercebut ke sumur, sementara orang-orang panik dan berlarian mencari tangga, Paman Doblo langsung terjun dan mengangkat Bibi Liyah sehingga dia tidak terlambat diselamatkan.
Kami, anak-anak juga percaya Paman Doblo selalu baik terhadap kami. Maka, kami tak perlu sedih bila misalnya layang-layang kami tersangkut di pohon tinggi. Kami tinggal melapor dan Paman Doblo dengan senyum seorang paman yang manis akan memanjat pohon itu. Demikian, Paman Doblo adalah nama untuk pertolongan, untuk rasa aman, dan untuk keakraban bagi anak-anak. Orang-orang dewasa juga percaya akan kelebihan Paman Doblo. Buktinya, ketika barisan hansip didirikan di kampung kami, semua orang sependapat Paman Doblo adalah calon paling tepat untuk jabatan komandan.
Kebaikan Paman Doblo tetap saya kenang meskipun saya, juga Simin, tidak lagi jadi gembala kerbau di tepi hutan jati. Dalam perkembangan waktu, saya tersedot arus urbanisasi, kemudian hidup di kota empat ratus kilometer dari kampung halaman. Sementara, Simin tetap tinggal di kampung dan jadi carik desa.
Kemarin, Carik Simin muncul di rumah saya. Kedatangan bekas teman sepermainan itu segera membawa ingatan saya kembali ke masa anak-anak di kampung. Maka, malam hari dalam suasana kangen-kangenan, saya bertanya tentang banyak hal; apakah suara burung hantu masih terdengar dari pohon besar dikuburan bila senja datang. Atau, apakah menjelang matahari terbit masih terdengar kokok ayam hutan dari padang perdu di tepi kampung. Juga, apakah masih ada kerlap-kerlip ribuan kunang-kunang di atas hamparan sawah ketika jatuh gerimis senja hari. Dan, tentu saya tak lupa bertanya tentang Paman Doblo.
Carik Simin tampak gelisah ketika mendengar pertanyaan saya terakhir. Tetapi, sambil menundukkan kepala, akhirnya keluar juga jawabannya.
“Selain masalah pribadi yang akan saya sampaikan nanti, bisa dibilang kedatangan saya kemari hanya untuk bercerita tentang dia.”
“Begitu? Tak ada apa-apa dengan Paman Doblo, bukan?”
“Tidak. Ah, saya harus bilang apa; Paman Doblo kini lain. Dia tidak seperti dulu lagi. Dia sudah berubah. Saya merasa Paman doblo mulai berubah tak lama setelah ada sebuah kilang mengangkat Paman Doblo menjadi satpam. Paman Doblo diberi pakaian seragam, pisau bergagang kuningan, sepatu laras, sabuk tentara, topi. Juga, peluit. Dan, akhirnya juga motor bebek baru.”
“Lalu, apa salahnya Paman Doblo menjadi satpam? Bukannya kita harus senang bila Paman Doblo punya gaji dan hidup enak?”
“Kamu benar. Tak ada yang salah ketika seseorang diangkat jadi satpam. Paman Doblo pun semula tak berubah oleh kemudahan-kemudahan yang dia terima. Dia masih seperti dulu; ramah kepada semua orang dan manis terhadap anak-anak. Kepada anak-anak yang minta limbah kilang untuk kayu bakar, Paman Doblo melayani mereka dengan baik. Namun, inilah yang kemudian terjadi; kebaikan Paman Doblo agaknya malah jadi awal perubahannya. Pemilik kilang, seorang pengusaha kaya dari kota, melarang Paman Doblo terlalu bermurah hati kepada penduduk sekitar. Dia hanya dibenarkan memberikan limbah yang berupa kulit kayu kepada anak-anak. Selebihnya, harus dikumpulkan karena bisa dijual ke pabrik kertas atau perusahaan pembuat genteng.”
“Dan, Paman Doblo, jatuh?”
“Pada mulanya dia tampak tertekan. Namun, kemudian dia laksanakan juga keinginan majikannya. Perubahan pada dirinya pun mulai tampak. Keramahan mulai surut dari wajahnya. Kekhawatiran akan kehilangan terlalu banyak limbah membuat Paman Doblo selalu mewaspadai, bahkan mencurigai setiap anak yang berada dekat kilang. Dan, kejadian terakhir kemarin malah menyangkut anak lelaki saya yang baru naik kelas 3 SD.”
“Anakmu mencuri limbah?”
“Tidak. Layang-layang anak saya tersangkut kawat berduri di atas pagar tembok kilang. Ingat, andaikan peristiwa itu terjadi dulu ketika kita masih anak-anak, Paman Doblo tentu akan datang menolong sambil senyum.”
“Dan, terhadap anakmu kemarin?”
“Paman Doblo datang dengan langkah gopoh dan mata membulat sehingga anak saya lari ketakutan hingga terkencing-kencing. Layang-layang anak saya diraihnya, lalu dirobek hancur. Anak saya yang hanya berani melihat Paman Doblo dari jauh, menangis. Nah, asal kamu tahu; ketika mendengar pengaduan anak saya, hati ini terasa terobek-robek lebih parah, lebih hancur.”
Saya hanya bisa mengerutkan alis karena tiba-tiba ada rasa pahit yang harus saya telan. Paman Doblo kini tega merobek layangan anak-anak? Iya? Pertanyaan itu berputar berulang-ulang karena sukar masuk ke dalam nalar.
“Kamu sudah bicara dengan Paman Doblo?”
“Sudah. Saya merasa perlu segera menemui dia untuk menjernihkan keadaan. Dan, yang paling penting, untuk menyampaikan pertanyaan anak saya.”
“Anakmu bertanya apa?”
“Ah, pertanyaan seorang bocah; apakah jadi satpam harus galak dan menyobek layangan anak-anak?”
“Dan, jawab Paman Doblo?”
Carik Simin tertawa. Tetapi, matanya berkaca-kaca. Dia kelihatan begitu berat meneruskan kata-katanya.
“Paman Doblo memang sudah jauh berubah. Untuk menjawab pertanyaan anak saya, dia berkata sambil berkacak pinggang. “Saya tidak hanya bisa merobek layang-layang. Saya juga bisa merobek mulut orang tua atau anak-anak kalau dia membahayakan keamanan kilang atau merugikan kepentingan pemiliknya.”
Cerita Carik Simin membuat saya tercengang. Tergambar senyum getir pada bibir Carik Simin. Matanya masih berkaca-kaca. Kekecewaan Carik Simin segera mengimbas ke dada saya. Hambar. Sakit. Mendadak kecewa. Entahlah.
Atau, sebenarnya saya merasa sangat berat menerima kenyataan, kini Paman Doblo bisa berbuat kasar. Ia telah kehilangan keakraban dan kelembutannya, juga terhadap anak-anak. Saya juga cemas apabila Paman Doblo merasa harus mewaspadai setiap anak, dia akan kehilangan kemampuan berbaik sangka. Ah, apa yang bisa terjadi di kampungku bila antara Paman Doblo dan orang-orang sekitar kilang tak ada prasangka baik dan kasih sayang?
“Mas, pulang dan bicaralah dengan Paman doblo,” kata Carik Simin dengan suara pelan dan parau. “Kamu masih ingin anak-anak kita bilang, untung ada Paman Doblo, bukan?”
Permintaan Carik Simin terdengar sebagai tekanan halus dari suara jernih seluruh anak-anak kampung kami. Suara itu terus terngiang. Terbayang anak Carik Simin ketika dia berdiri ketakutan, terkencing-kencing, dan air matanya berderai karena melihat layang-layangnya dirobek dengan galak oleh Paman doblo. Ya. Tetapi, saya merasa tak sanggup berbuat apa-apa. Tiba-tiba saya sadar, Paman Doblo kini sudah punya posisi kuat dan dia telah mengambil jarak dari kami. Dia sudah sepenuhnya jadi satpam kilang yang harus mewaspadai semua semua orang luar, tak terkecuali anak-anak. Dan, bagi dia, anak-anak kampung tak lagi jadi prioritas utama untuk dibela dan dilindungi melainkan keamanan kilang dan kepentingan pemiliknya. Ini berarti anak-anak kami tak mungkin lagi bilang, untung ada Paman Doblo. Terasa ada sengatan menghujam hati, sengatan yang membuatg saya bingung dan merasa tak berdaya.                                                                                                                                                    (Kompas, 6 Juli 1997)

1 komentar:

  1. Terimakasih atas infonya,,,tapi masih bingung bedanya struktural dan teori fiksi

    BalasHapus