Kajian
Semiotik Riffatere Terhadap Puisi Arab
A.
Pengantar
Setiap orang
memiliki cara yang seringkali berbeda dalam mengungkapkan pandangannya atau
pemikirannya terhadap realitas yang ada di sekitar dan yang ditemuinya. Ada
yang mengetengahkannya secara langsung di hadapan pembaca sehingga mereka dapat
langsung memahami apa yang dimaksudkan. Tetapi tidak jarang justru adanya
penggunaan cara yang sepintas lalu belum dapat dipahami karena menggunakan
beragam kata yang berarti tidak langsung. Cara yang kedua inilah yang lazim
digunakan oleh para penyair untuk mengetengahkan beragam pandangan dan isi
hatinya dalam beragam karya sastra. Penggunaan kata yang berarti tidak langsung
atau simbol dalam sebuah karya sastra di samping untuk membedakannya dengan
karya tulis biasa, juga agar timbul nuansa keindahan dalam rangkaian katanya
serta yang tak kalah pentingnya agar tercipta sebuah proses pemahaman yang
mendalam bagi para penikmat karya tersebut.
Penggunaan
ungkapan seperti di atas pula yang dilakukan oleh seorang sastrawati kawakan
Lebanon, Nuhad Wadī’ Haddād atau yang lebih dikenal dengan Fairūz yang
dilahirkan di Beirut 21 November 1935, untuk mengungkapkan isi hati sekaligus
juga pandangannya tentang Palestina dalam puisinya berjudul al-Quds al-‘Atīqah.
Dalam puisi yang dimuat dalam situs internet www.arabicpoem.com
ini, penyair yang banyak mendapat penghargaan sastra ini, mengetengahkan dan
mengungkapkan pengalamannya saat berkunjung ke negeri yang selalu mengalami
masa-masa pergolakan sepanjang zaman hingga seakan-akan tak berkesudahan ini.
Dalam puisi
yang memaparkan pantauannya di beberapa sudut Palestina ini, sastrawati yang
juga penyiar radio ini mengetengahkan di hadapan penikmat karya sastra sebuah
realitas. Realitas yang patut jadi bahan renungan, yaitu bahwa negeri yang
menjadi tempat berkumpulnya agama-agama samawi ini tengah menghadapi kondisi
yang sangat memprihatinkan dengan memikul beban yang terlampau berat hingga
berdampak negatif bagi kehidupan masyarakatnya. Keadaan yang tidak menentu
terus dialami masyarakat negeri ini sejak berabad-abad lampau, utamanya sejak
terjadinya serangkaian Perang Salib tahun 1095-1291 M hingga perang Arab-Israel
yang berujung pada terpecahnya negara Palestina tahun 1946-1948 (Hitti, 2005:
808-836; Yatim, 2006: 76-79). Keadaan yang tidak kondusif ini terus berlangsung
sepanjang waktu, bahkan hingga di era modern ini.
Untuk
menggambarkan kondisi memprihatinkan yang dialami negeri tetangganya ini,
sastrawati yang juga penyanyi ini mengungkapkannya dengan menggunakan simbol.
Beberapa simbol yang dipakai Fairūz dalam gubahan puisi ini antara lain:
“jalanan yang sepi dari lalu lalang manusia”, pertokoan yang kusam dan
semberawut”, “taman-taman yang tak berbunga”, “malam yang sunyi senyap”,
“rumah-rumah yang tak berpenghuni”, dan lain sebagainya. Fairūz
Begitu
banyak simbol yang diketengahkan penyair dalam puisi ini mengisyaratkan satu
hal bahwa ketidakmenentuan kondisi yang menyelimuti masyarakat Palestina telah
sedemikian mengkhawatirkan. Ketentraman dan kesejahteraan yang menjadi harapan
banyak orang akan sulit terwujud jika kondisi yang melingkupinya tidak
kondusif. Dengan pengetengahan puisi ini penyair berharap agar masyarakat
pembaca tergugah dan tergerak hati nuraninya untuk bersama-sama membantu
penyelesaian masalah yang dialami masyarakat Palestina.
Meskipun
demikian, apa yang diungkapkan penyair dalam puisi ini tidak serta merta dapat
dipahami oleh pembaca. Dengan demikian, agar metaphora-metaphora yang
diungkapkan penyair tersebut semakin bermakna dan dapat dimengerti oleh
pembaca, maka penyelidikan dengan menggunakan teori semiotik menjadi penting,
sehingga pada gilirannya akan didapatkan atau ditemukan maksud dan tujuan
penggubahan puisi ini.
B.
Landasan
Teori
Beragam
teori sastra telah dilahirkan oleh beragam pakar yang berkecimpung dalam bidang
ini. Ada teori sastra yang memfokuskan kajiannya terhadap penulis yang
menghasilkan sastra tersebut dan ada pula yang menikberatkan pada karya sastra
yang dihasilkannya serta tidak ketinggalan perhatian kepada lingkungan atau
situasi yang menjadi tempat lahirnya karya sastra tersebut. Berangkat dari
relaitas inilah kemudian Abrams muncul dengan memaparkan beberapa pendekatan
kritis untuk menanggapi hal ini, dimana menurutnya terdapat empat pendekatan
dalam karya sastra, yaitu: ekspresif atau ekspresi pengarang,
pragmatik atau mencapai efek-efek tertentu, objektif atau kebebasan
dari lingkungan dan mimetik atau tiruan atau cerminan (Pradopo, 1997:
26-27; Pradopo, 1995: 140, Teeuw, 1984: 50).
Dari
beberapa pendekatan kritis ini kemudian lahir sekian ragam teori sastra yang
dikemukakan oleh para ahli. Dan di antara beragam teori tersebut, terdapat
sebuah teori yang dibangun berdasarkan suatu asumsi bahwa sebuah karya sastra
itu sendiri dari tanda-tanda atau simbol yang dapat diinterpretasikan atau
ditafsirkan. Teori yang dimaksudkan adalah apa yang kemudian dikenal sebagai
teori semiotik.
Teori struktural dan
semiotik pada dewasa ini merupakan salah satu teori sastra (kritik sastra) yang
terbaru di samping teori estetika resepsi dan dekonstruksi. Akan tetapi, teori
ini belum banyak dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia. Pada
umumnya kritik sastra atau apa yang dinamakan kritik sastra di Indonesia dewasa
ini masih mempergunakan teori-teon sastra (kritik) yang lama, yang sudah
ketinggalan dalam perkembangan kemajuan studi sastra pada umumnya (Pradopo,
1995:140).
Teori struktural dan semiotik (Pradopo, 1995:140) merupakan teori kritik sastra objektif.
Teori struktural dan semiotik (Pradopo, 1995:140) merupakan teori kritik sastra objektif.
Dikemukakan Abrams (1971:3-29) bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu pendekatan (1) mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan) (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif, yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman penyair (sastrawan); dan (4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang. Maka dalam kritik ini yang penting adalah karya sastra itu sendiri, yang khusus dianalisis struktur intrinsiknya.
Kritik objektif ini timbul sekitar tahun 1920 dengan tampilnya kaum Kritikus Baru (New Critics) dari Miran Chicago (Chicago School), dan kaum Formalis Eropa (Abrams,1971:37). Sepanjang sejarahnya kritik objektif ini mendapat reaksi-reaksi dan mengalami perbaikan dan penyempurnaan hingga kemudian para kritikus objektif sekarang ini disebut oleh Hawkes (dalam Pradopo, 1995:141) sebagai golongan Kritikus Baru yang Baru (New New Critics) yang lebih menyempurnakan teori-teori kritik sastra dan penerapan kritik sastra objektif. Di antaranya ialah teori struktural dan semiotik.
Semiotik
adalah suatu metode analisis untuk mengkaji suatu tanda (Nurgiantoro, 2000:
40). Di samping itu, teori ini seringkali juga disebut sebagai suatu ilmu yang
mempelajari objek-objek, peristiwa-peristiwa dan seluruh gejala kebudayaan yang
ada sebagai tanda (Eco, 1978: 6-7). Atau, sebagian lain menyebutnya sebagai
suatu disiplin yang menyelidiki suatu bentuk komunikasi yang terjadi dengan
sarana signs (tanda-tanda) dan berdasarkan pada sign system (code)
atau sistem tanda (Segers, 2000: 4). Suatu tanda mempunyai dua aspek, yaitu:
penanda (signifer) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk
formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah
sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya (Pradopo, 2001:
71).
Untuk
keperluan penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori semiotik seperti yang
dikemukakan oleh Michael Riffatere dalam buku Semiotics of Poetry,
dimana bersama dengan Roland Barthes, Riffatere mengkaji semiotik melalui
pendekatatan model post-strukturalisme. Mereka mendasarkan pendapatnya
pada suatu asumsi bahwa jika makna hanya ditelaah hanya melalui strukturnya
yang dilambangkan dalam kata, maka tidak akan selamanya mampu menampung hakekat
makna. Hal ini terjadi karena dalam konteks bahasa sastra yang kompleks, tidak
jarang esensi makna justru terdapat di luar makna tersebut, atau makna tidak
selalu hadir sesuai dengan penanda strukturnya (Fannanie, 2001: 144-145).
Sebagai
implementasi dari pemikiran dan pernyataan tersebut, kemudian Riffatere menulis
sebuah buku berjudul Semiotics of Poetry yang memaparkan empat hal
penting yang harus dipenuhi dalam pengungkapan sebuah karya sastra. Keempat hal
penting tersebut adalah sebagai berikut (Eco, 1978: 6-10; Pradopo, 2001: 75-85;
Pradopo, 1990: 30-246; Endraswara, 2006: 63-67) :
1.
Puisi adalah
ekspresi tidak langsung. Hal ini berarti bahwa ekspresi tersebut memiliki arti
lain ketika diungkapkan. Adapun sebab-sebabnya adalah : a) penggantian arti; b)
penyimpangan arti; c) penciptaan arti.
2.
Pembacaan heruistik
dan hermeneutik. Pada tahap pertama puisi dibaca dengan pembacaan heruistik,
yaitu pembacaan yang bertumpu pada tata bahasa, baik dari aspek gramatikal,
bunyi ataupun artinya. Metode ini dinamakan Semiotik Tingkat Pertama atau first
order semiotics. Akan tetapi, penerapan langkah pertama ini ternyata tidak
sampai pada arti yang sebenranya yang dikehendaki oleh penyair. Untuk itu,
dibutuhkan metode yang kedua, yaitu pembacaan hermeneutik untuk mendapatkan
arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh penyair. Metode ini
dinamakan dengan Semiotik Tingkat Kedua atau second order semiotics.
3.
Untuk memperjelas
(dan mendapatkan) makna puisi (karya sastra) secara lebih mendalam, maka
selanjutnya dicari tema dan masalah yang terkandung dalam puisi tersebut.
Adapun caranya adalah dengan mencari matriks, model, dan varian-varian-nya
terlebih dahulu. Suatu ‘matriks’ harus diabstraksikan dari sebuah karya sastra
yang dibahas dan tidak dieksplisitkan di dalamnya. Bukan berupa kiasan, tetapi
merupakan kata kunci (keyword) yang dapat berupa satu kata, kalimat dan
lain sebagainya. Suatu ‘matriks’ belum merupakan tema, tetapi mengarah kepada
tema yang dicari. Matriks juga merupakan hipogram intern yang
ditransformasikan ke dalam model yang berupa kiasan yang selanjutnya menjadi
‘varian-varian’. Varian ini merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda:
baris atau bait, bahkan juga bagian-bagian fiksi, seperti: alinea dan bab yang
merupakan wacana yang selanjutnya menjadi ‘masalahnya’. Dari ‘matriks’, ‘model’
dan ‘varian-varian’ ini baru dapat ‘disimpulkan’ atau ‘diabstarksikan’ tema
sebuah karya sastra.
4.
Seringkali terjadi
sebuah karya sastra merupakan transformasi dari teks (lain) sebelumnya yang
menjadi ‘hipogram’-nya, yaitu teks yang menjadi latar belakang terciptanya
karya sastra tersebut. Hipogram di sini tidak hanya terbatas pada teks yang berupa
tulisan, bahasa dan cerita lisan saja, akan tetapi –sebagaimana menurut Teeuw
dan Julia Cristiva bahwa dunia dan alam ini pada hakekatnya adalah teks (Teeuw,
1983: 65)- dapat juga berupa adat istiadat, masyarakat dan aturan-aturan.
C.
Analisis Terhadap
al-Quds al-‘Atīqah
Untuk
mendapatkan pengertian dan pemahaman yang mendalam terhadap puisi al-Quds
al-‘Atīqah karya Fairūz, maka berikut ini akan dilakukan langkah-langkah
analisis menggunakan teori semiotik Riffatere.
1. Teks
Puisi
Al-Quds Yang
Agung
Aku menyusuri
jalanan
Jalan-jalan
al-Quds yang agung
Di depan
pertokoan yang tersisa di Palestina
Kami
menceritakan sebuah berita
Mereka
memberiku vas bunga
Mereka
berkata kepadaku: sebuah hadiah
Dari para
penjaga manusia
Aku berjalan
di jalanan
Jalan-jalan
al-Quds yang agung
Berhenti di
depan pintu penjagaan
Ia dan kami
menjadi sahabat
Dan kedua
mata mereka berlinang kesedihan
Karena
penderitaan kota
Ia membawa
dan menunjukkanku kepedihan derita
Berada di
atas bumi dengan beragam problem sosial
Masalah
kependudukan di bawah matahari dan di antara angin
Ia ada di
rumah-rumah dan remaja
Ada pada
anak-anak yang di tangannya buku
Malam-malamnya
penuh kesedihan
Dan kedua
tangannya kehitaman terlepas dari gerbang
Hingga
membuat rumah-rumah tak berpenghuni
Di antara mereka
seperti duri dan api
Kedua
tangannya kehitaman
Jalan-jalan
penuh dengan suara hiruk pikuk
Jalan-jalan
al-Quds yang agung
Tanpa
nyayian yang terbang bersama topan dan kesia-siaan
Hai suaraku!
Naunganmu terbang bersama rintihan suara hati
Kabarkan
kepada mereka kelemahanku dengan segala kerelaan hati
2. Pembacaan
Heruistik
Langkah
pertama yang dilakukan dalam penelaahan puisi ala Riffatere adalah pembacaan
‘heruistik’, yaitu pembacaan bait-bait puisi berdasarkan struktur
kebahasaannya. Selanjjutnya, agar semakin memperjelas arti yang terkandung di
dalamnya maka jika dianggap perlu dapat diberi sisipan kata atau sinonimnya
yang diletakkan dalam tanda kurung. Demikian juga dengan struktur kalimatnya
disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), dan jika
diperlukan susunannya dibalik untuk dapat semakin memperjelas arti.
Berikut ini
adalah pembacaan heruistik terhadap puisi al-Quds al-‘Atīqah karya
Fairūz ini.
Bait pertama
Aku
(berjalan) menyusuri jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan al-Quds (Yerussalem) yang
agung. (Ketika sampai) di depan pertokoan yang (masih) tersisa dari Palestina,
(maka kemudian) kami menceritakan (menyampaikan) sebuah berita (kepada
penduduknya), mereka (pun membalasnya dengan) memberiku vas bunga, (sambil)
mereka berkata kepadaku: (ini) sebuah hadiah, dari para penjaga manusia (yang
tersisa dari negeri ini).
Bait Kedua
Aku (terus)
berjalan di jalan-jalan. (Yaitu) Jalan-jalan al-Quds (Yerussalem) yang agung.
(Kemudian aku) berhenti di depan gerbang (kota), ia (masyarakat) dan kami
(rombongan) menjadi sahabat (yang saling mengenal), dan (kemudian dari) kedua
mata mereka berlinang kesedihan, karena penderitaan (yang dialami oleh) kota
(ini).
Bait Ketiga
(Kemudian)
ia membawa (menuntun) dan menunjukkanku (memperlihatkan kepadaku) kepedihan
derita (penderitaan yang dialami oleh kota ini, (sebuah negeri yang) berada di
atas bumi dengan beragam problem sosial, (begitu juga dengan) persoalan
kependudukan di bawah matahari dan di antara angin (beragam problem yang tak
kunjung usai), (dan karena banyaknya problem tersebut maka) ia ada (dapat
dijumpai) di (dalam) rumah-rumah dan remaja, (masalah tersebut juga) ada di
anak-anak (bersekolah) yang di tangannya buku, (akibatnya) malam-malamnya penuh
(dengan) kesedihan, (sehingga membuat) kedua tangannya kehitaman terlepas dari
gerbang (yang menjadi pegangan). (akibat selanjutnya) hingga membuat
rumah-rumah tak berpenghuni (karena ditinggal penghuninya), (dan kadang-kadang)
di antara mereka (penduduk negeri ini) seperti duri dan api (yang sewaktu-waktu
dapat saling menyakiti), (karena) kedua tangannya kehitaman.
Bait Keempat
Jalan-jalan
penuh suara hiruk pikuk (penduduk kota), (yaitu) jalan-jalan al-Quds
(Yerussalem) yang agung, (suara-suara tersebut) tanpa nyanyian (karena) terbang
bersama (angin) topan dan kesia-siaan (tan berarti apa-apa). (maka kemudian aku
berteriak) Hai suaraku! Naunganmu terbang (lenyap) bersama rintihan suara hati,
(karena itu) kabarkanlah kepada mereka (orang-orang di seluruh dunai)
kelemahanku dengan segala kerelaan hati.
3. Pembacaan
Hermeneutik
Langkah
selanjutnya dalam penelaahan puisi menurut Riffatere adalah pembacaan
‘hermeneutik’ (retroaktif) atau penafsiran puisi yang dilakukan dengan cara
‘hermeneutik’ berdasarkan konvensi sastra, yaitu sistem semiotik tingkat kedua.
Konvensi sastra dimaksud menurut Riffatere (Pradopo, 2001: 102) di antaranya
adalah konvensi ketidak langsungan arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti.
Penggantian arti berujud pada penggunaan metaphora dan metonimi atau bahasa
kiasan, dan penyimpangan ari disebabkan oleh ambiguitas (arti ganda),
kontradiksi (pertentangan arti) dan ‘nonsense’ (tidak memiliki arti secara
linguistik), sedangkan penciptaan arti disebabkan oleh pemanfaatan bentuk
visual, misalnya persajakan dan tipografi.
Dalam
penelaahan menggunakan pembacaan ‘retroaktif’ terhadap puisi ini, maka terutama
akan dilakukan terhadap bahasa kiasan atau secara khusus lagi terhadap
metaphora atau ambiguitas yang terdapat di dalamnya. Adapun lebih jelasnya,
sebagaimana berikut ini:
“al-Quds
yang agung”, berarti Yerussalem atau Palestina yang sebenarnya mulia akan
tetapi penuh dengan penderitaan akibat konflik yang berkepanjangan. Adapun
secara keseluruhannya tafsiran terhadap puisi ini adalah sebagai berikut ini :
- Penderitaan berkepanjangan yang menimpa Palestina perlu
mendapat perhatian yang lebih serius dengan cara melihat kondisinya secara
langsung. Hal ini karena masyarakatnya sangat mendambakan perhatian,
kepedulian dan bantuan dari masyarakat dunia lainnya.
- Dengan menyaksikan kondisi secara langsung, maka akan
dapat diketahui pula apa sesungguhnya yang dialami oleh masyarakat
Palestina. Dengan demikian, bantuan yang akan diberikan menjadi tepat pada
sasaran yang dibutuhkan oleh masyarakat negeri ini.
- Persoalan yang membelit Palestina meliputi seluruh
aspek kehidupan yang dilalui masyarakatnya. Mulai dari persoalan
sosial, pendidikan, kependudukan, ekonomi, keamanan dan lain sebagainya
yang dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat dari anak-anak, remaja
hingga orang tua.
- Persoalan yang menimpa Palestina telah berlangsung
sangat lama, akan tetapi makin berkembang pesat sejak pendirian negara
Zionis Israel di tanah Palestina. Meskipun demikian, persoalan yang
membelit Palestina tersebut bukan hanya berkaitan dengan Israel saja, tetapi
juga di antara sesama warga Palestina sendiri. Persoalan ini muncul karena
perbedaan pandangan antara kelompok sekuler yang diwakili oleh Fatah
dengan PLO-nya yang cukup akomodatif terhadap Israel dan kelompok Islam
dengan Hamasnya yang sangat anti Israel. Kedua kelompok ini saling
mengklaim mendapat dukungan masyarakat Palestina sehingga sering timbul
pertentangan dan peperangan yang tidak jarang memakan korban jiwa dan
harta benda.
- Karena konflik yang berkepanjangan, baik dengan Israel
maupun sesama mereka, banyak warga Palestina yang memilih meninggalkan
tanah airnya dan pindah ke negara-negara tetangga seperti Yordania dan
Lebanon.
- Kondisi masyarakat Palestina yang penuh dengan
penderitaan ini harus terus disuarakan, disampaikan dan diberitakan ke
seluruh dunia agar masyarakat seluruh jagad tahu apa yang dialami oleh
negeri di Timur Tengah ini.
4. Tema dan
Masalah al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz
Jika merujuk
pada apa yang diungkapkan oleh Riffatere (Pradopo, 2001: 102; Endraswara, 2006:
65), maka untuk dapat mengetahui isi kandungan puisi ini diperlukan upaya
pencarian tema dan masalah yang terdapat di dalamnya. Meskipun demikian, tema
dan masalah yang terdapat dalam sebuah puisi tidak serta merta dapat ditemukan
dan didapatkan, tetapi hendaknya dicari terlebih dahulu matriks, model, dan
varian-varian-nya.
Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa ‘matriks’ yang menjadi kata kunci dari puisi
ini adalah ‘jalan-jalan Palestina’. Hal ini karena ‘jalan-jalan Palestina’
menjadi sesuatu yang sentral dan menjadi titik tolak dari penelusuran penyair
dalam mengungkapkan gambaran Palestiana sebagaimana yang diamatinya.
Selanjutnya, dalam pengamatan peneliti, seakan-akan penyair sengaja ingin
mengarahkan pembaca bahwa jika ingin mengetahui bagaimanakah Palestina, maka telusurilah
‘jalan-jalan al-Quds’ niscaya akan dijumpai apa yang ingin kita ketahui.
Adapun
‘model’ sekaligus juga ‘varian-varian’-nya adalah bahwa pada bait pertama
penyair mengetengahkan gambaran Palestina melalui jalan-jalan secara umum,
dimana terdapat gambaran bangunan yang masih tersisa akibat pertikaian serta
sambutan yang hangat dari penduduknya dengan ungkapan terima kasih mereka.
Beranjak pada bait kedua, penyair mulai sedikit lebih terperinci menggambarkan
bagaimana potret Palestina tersebut di dalam puisinya, seperti sambutan yang
kembali sangat meriah sambil menceritakan kesedihan-kesedihan yang mereka
alami. Pada bait ketiga, dengan secara jelas dan sangat mendetail penyair
mengetengahkan apa sebenarnya yang dihadapi Palestina dengan segudang persoalannya.
Pada bait ketiga ini, penyair mengetengahkan persoalan-persoalan Palestina;
sosial, keamanan, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Terakhir, pada bait
keempat penyair mengungkapkan terjadinya puncak akumulasi persoalan-persoalan
yang dihadapi Palestina tersebut, seperti terjadinya kekisruhan di jalan-jalan
dalam demonstrasi serta penyesalan penyair kenapa ia tidak mampu untuk
membantu, sekaligus juga kritikannya kepada pihak-pihak yang tidak menggubris
realitas ini dengan sungguh-sungguh.
Dengan
diketahuinya ketiga hal yang penting di atas, maka selanjutnya dapat dinyatakan
tema dan masalah yang terdapat dalam puisi al-Quds al-‘Atīqah karya
Fairūz ini. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tema puisi ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: “konflik yang berkepanjangan membentuk akumulasi
beragam persoalan yang menimpa Palestina sehingga menyebabkan rakyatnya hidup
dalam kesengsaraan dan keterbelakangan dalam segala hal dan setiap saat mereka
senantiasa mengharapkan bantuan dalam bentuk apa pun dari orang-orang yang
bersimpati di seluruh dunia”.
5. Hipogram
Puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz
Penentuan
hipogram atau latar belakang terciptanya sebuah puisi jika merujuk pada
pengertian sempit, yaitu berupa karya sastra yang sama, maka akan sangat sulit
dilakukan. Meskipun demikian, jika kembali kepada pendapat yang dikemukakan
oleh Teeuw dan Cristiva (Teeuw, 1983: 65; Pradopo, 2001: 82), bahwa pada
hakekatnya alam ini adalah hipogram, maka dapat disimpulkan bahwa latar
belakang penciptaan puisi ini adalah Palestina dengan segala persoalan yang
dihadapinya.
Hal ini karena
berdasarkan beberapa alasan yang peneliti temukan, yaitu pertama bahwa
kata ‘al-Quds’ yang melekat pada judul puisi ini dan disebutkan sebanyak tiga
kali dalam bait-baitnya adalah merujuk pada kota al-Quds atau yang biasa juga
dikenal dengan Yerussalem yang terdapat di Palestina. Kedua, terdapat kata
‘Palestina’ di baris ketiga pada bait pertama yang sangat jelas merujuk pada
negeri Palestina yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Lebanon, tanah
kelahiran dan tempat tinggal penulis puisi ini. Ketiga, telah menjadi kebiasaan
dan tuntutan tugas Fairūz sebagai selebritas, pelaku budaya dan sastrawati
Lebanon untuk melakukan lawatan ke berbagai negara dalam beragam event
kebudayaan dan di tempat yang dikunjunginya tersebut ia biasa menulis puisi menceritakan
apa yang ditemuinya. Palestina adalah negara tetangganya yang telah
berulangkali dikunjunginya, apalagi ia juga pernah menerima penghargaan dari
pemerintah negeri ini. Dengan demikian, dapat dipahami jika puisi ini merupakan
bentuk apresiasinya yang mendalam terhadap kondisi yang dialami masyarakat
Palestina.
D.
Kesimpulan
Berdasarkan
penelaahan yang dilakukan peneliti terhadap al-Quds al-‘Atīqah karya
Fairūz dengan menggunakan teori semiotik Riffatere sebagaimana di atas, maka
didapatkan beberapa kesimpulan berikut ini, yaitu:
- Simbol atau kata berarti tidak langsung yang terdapat
dalam puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz merupakan cara penyair
untuk mengetengahkan pandangannya mengenai Palestina. Meskipun demikian,
simbol-simbol tersebut hanya dapat dipahami dengan menggunakan
tahapan-tahapan penelaahan puisi menurut cara Riffatere.
- Palestina adalah sebuah wilayah strategis di Timur
Tengah yang dapat menghubungkan beberapa kawasan dengan kawasan lainnya
serta memiliki nilai historis yang tinggi. Meskipun demikian, wilayah ini
terus mengalami pergolakan yang berkepanjangan antara beberapa kekuatan
yang hendak menguasainya, baik dari luar maupun dari dalam Palestina.
Akibatnya, kehidupan masyarakatnya menjadi terabaikan, jauh dari
kedamaian, kesejahteraan serta beragam persoalan lain. Setiap saat rakyat
Palestina menanti uluran tangan dan bantuan dari pihak manapun yang
bersimpati dengan penderitaan yang mereka alami.
Catatan :
Di antara penghargaan yang
pernah diterima Fairūz sebagai sastrawati Lebanon adalah Medali Kehormatan dari
Pemerintah Lebanon tahun 1957, 1962-1963 dan dari Pemerintah Syiria tahun 1967.
Di samping itu, beberapa penghargaan lain juga pernah mampir di tangannya,
seperti dari Yordania (1975 dan 1998), Prancis (1988 dan 1997), Palestina
(1997), dan Tunisia (1997). Lebih lanjut, dapat ditemukan dalam: www.arabicpoem.com/fairuz.
PLO adalah Palestinian
Liberation Organization atau organisasi perlawanan Palestina yang menjadi
wadah politik bagi kelompok Fatah dalam memperjuangkan cita-cita Palestina
menurut pandangan mereka. Sedangkan Hamas adalah Harakah Muqāwamah
al-Islāmiyyah yang berarti gerakan perlawanan Islam yang menjadi wadah
politik bagi kelompok Islam di Palestina dalam memperjuangkan cita-cita mereka.
Di antara implementasi dari gerakan ini adalah munculnya perlawanan terhadap
pendudukan Palestina oleh Israel dengan menggunakan batu yang sangat terkenal
dengan nama ‘Intifadhah’.
DAFTAR
PUSTAKA
Eco, Umberto. 1978. A Theory
of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi
Penelitian Sastra. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: PT. Pustaka Widyastama.
Fannanie, Zainuddin. 2001. Telaah
Sastra. Cetakan Kedua. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori
Pengkajian Fiksi. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan
Menilai Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
————-. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Pradopo, Rachmad Djoko. 1995. Beberapa
Teori sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Cetakan Kelima. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
————————————–. 2001. Penelitian
Sastra Dengan Pendekatan Semiotik. Dalam “Metodologi Penelitian Sastra”.
Drs. Jabrohim (ed.). Yogyakarta: PT. Hanindita.
————————————-. 1997. Prinsip-Prinsip
Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
————————————. 1990. Pengkajian
Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Segers. Rien T. 2000. Evaluasi
Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
www.arabicpoem.com/fairuz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar