Selasa, 24 Juli 2012

HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR, DAN BERBUDAYA


HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR, DAN BERBUDAYA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998). Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, Keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannnya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka (Sumaryono, 1993). Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Hubungan antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia kajian psikologi. Sejarah kajian ini dapat ditilik dari psikolog kognitif, filosof dan ahli linguistik. Para ilmuwan menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut, misalnya identifikasi aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning spatial) dan aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain (reasoning about other minds).




















                                                                        BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR, DAN BERBUDAYA
Menurut Abdul Chaer, (Psikolinguistik; 2002) Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia
Berbahasa,  dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantic dan encode gramatikal didalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat encode fonologi. Kemudian di lanjutkan dengan penyusunan decode fonologi, decode gramatikal, dan decide semantic pada pihak pendengar yang terjadi di dalam otaknya.
Di sini tidak akan dijawab masalah itu, melainkan hanya akan dikemukakan pendapat sejumlah pakar. Kemudian dicoba membuat konklusi atau komentar terhadap teori-teori mengenai masalah tersebut yang telah ada sejak abad yang silam.
2.1.1 Teori  Wilhelm Von Humboldt
Wilman helm Von Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikir manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain.
Mengetahui bahasa itu sendiri Von Humbolt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi(lautform) dan pikiran (ideeform).

Dari keterangan itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam-bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah yang’’membelenggu’’ manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam( otak,pemikir) penutur bahasa itu.

2.1.2 Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah ’’belas kasih’’ bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian ’’didirikan’’ diatas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama.
Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai  contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan ’’kaleng kosong’’ bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya.
Setelah meneliti bahasa hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam, whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis  Sapir-Whorf) mengenai relatifitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda’’membedah’’ alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah satu relatifitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa yang beragam itu.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara( Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti  Cina, Jepang, Amerika, Eropa , Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi di organisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa(event) , sedangkan kebudayaan eropa diorganisasi berdasarkan ruang(space) dan waktu (time).

2.1.3 Teori Jean Piaget
Berbeda  dengan pendapat Sapir dan Whorf, Piaget, sarjana perancis, berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak aka nada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa: bukan sebaliknya.
Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi (Piaget, 1962) menyatakan jika seseorang anak-anak dapat menggolongkan sekumpulan benda-benda tersebut dengan menggunakan kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.
Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua hal penting berikut:
1)      Sumber kegiatan intelek  tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik, yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda(sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan opersai pemakaian kembali.
2)      Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya miliki  suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambing pada umumnya. Fungsi lambing ini mempunyai beberapa aspek. Awal terjadi fungsi lambing ini ditandai oleh bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak dalam perkembangannya. Ucapan-ucapan bahasa pertama yang keluar sangat erat hubungannya dan terjadi serentak dengan permainan lambing, peniruan,dan bayangan-bayangan mental.
Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi dan perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu di ingat adalah bahwa dalam jangka  waktu sensormotor ini kekelan benda merupakan pemerolehan umum.
2.1.4 Teori L.S. Vygotsky
Vygotsky, sarjana bangsa Rusia, berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian,  kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikian berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
Menurut Vygotsky dalam mengkaji  gerak pikiran ini kita harus mengkaji dua bagian ucapan dalam yang mempunyai arti yang merupakan aspek semantic ucapan, dan ucapan luar yang merupakan aspek fonetik atau aspek bunyi-ucapan. Penyatuan dua bagian atau aspek ini sangat rumit dan kompleks.
Pikiran dan kata, menurut Vygotsky (1962:116) tidak dipotong dari satu pola. Struktur ucapan tidak hanya mencerminkan, tetapi juga mengubahnya setelah pikiran berubah menjadi ucapan.

2.1.5 Teori Noam Chomsky
Mengenai hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang disebut Hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori ini tidak secara langsung membicarakan hubungan bahasa  dengan pemikiran, tetapi kita dapat menarik kesimpulan mengenai hal itu karena Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran) manusia. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu di bawa sejak lahir. Pada waktu seorang anak-anak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat unifersal.

Sebelum ini ada pandanagan dari Von Humboldt yang tampak tidak konsisten. Pada satu pihak Von Humboldt menyatakan keragaman bahasa-bahasa di dunia ini mencerminkan adanya keragaman pandangan hidup (weltanschauung); tetapi dipihak lain beliau berpendapat bahwa yang mendasari tiap-tiap bahasa manusia adalah satu system- universal yang menggambarkan keunikan intelek manusia. Karena itu, Von Humboldt juga sependapat dengan pandangan rasionalis yang mengatakan bahwa bahasa tidaklah dipelajari oleh anak-anak dan tidak pula di ajakan oleh ibu-ibu, melainkan tumbuh sendiri dari dalam diri anak-anak itu dengan cara yang telah ditentukan lebih dahulu (oleh alam) apabila keadaan-keadaan lingkungan yang sesuai terdapat.
Pandangan Von Humboldt yang tidak konsisten itu dapat diperjelas oleh teori Chomsky. Menurut Chomsky yang sejalan dengan pandangan rasionalis, bahasa-bahasa yang ada di dunia adalah sama( karena didasari oleh satu system yang universal) hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang di sebut struktur-dalam(deep structure), pada tingkat luar atau struktur luar (surface structure)bahasa-bahasa itu berbeda-beda.
Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa bersifat otonom; dank arena itu, tidak ada hubungannya dengan system kognisi (pemikiran) pada umunya termasuk kecerdasan.

2.1.6 Teori Eric Lenneberg
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan berfikir, Eric mengajukan teori mengajukan teori yang disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran. Bukti bahwa manusia telah  dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa menurut Leeneberg adalah sebagai berikut:
1)      Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi manusia, seperti bagian-bagian, otak tertentu yang mendasari bahasa.
2)      Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua anak-anak normal. Semua anak-anak bias dikatakan mengikuti strategi dan waktu  pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi.
3)      Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun poda anak-anak yang mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun, bahasa anak-anak ini tetap berkembang dengan hanya sedikit kelambatan.
4)      Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum pernah ada makhluk lain yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah di ajar dengan cara-cara yang luar biasa.
5)      Setiap bahasa, tanpa kecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantic, sintaksis, dan fonologi yang universal.
Jadi, terdapat semacam pencabangan dalam teori Leenneberg ini. Dia seolah-olah bermaksud membedakan perkembangan bahasa dari segi ontogenetis (pemerolehan bahasa oleh individu) dan dari segi filogenetis (kelahiran bahasa suatu masyarakat). Dalam hal ini pemerolehan bahasa secara ontogenetis tidak ada hubungannya dengan kognisi; sedangkan secara filogenetis kelahiran bahasa suatu masyarakat sebagiannya ditentukan oleh kemampuan bahasa nurani,  dan sebagian lagi oleh kemampuan kognitif nurani, bukan bahasa yang lebih luas.
Lenneberg dalam Teori Kemampuan Bahasa Khusus telah menyimpulkan banyak bukti yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis kemudian (1967), beliau mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas, sehingga menyerupai pandangan Piaget.
2.1.7 Teori Bruner
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikir itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis.
Dalam bidang pendidikan, implikasi teori Bruner ini sangat besar. Memang dalam hubungan inilah beliau ingin mengembangkan teori ini.
Di samping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan linguistic dan kecakapan komunikasi, teori Bruner ini juga memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang dimiliki oleh setiap manusia yang berbahasa.
Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi lebih baik dengan pendidikan melalui bahasa yang formal karena kemampuan analisis ini hanya mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai kecakapan komunikasi yang baik.
2.1.8 Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf
Teori-teori atau  hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan. Teori pertama dari Von Humboldt mengatakan bahwa adanya pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena  adanya keragaman sistem bahasa dan adanya system bahasa dan adanya system unifersal yang  dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Teori kedua dari Sapir-Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa nenentukan struktur pikiran. Teori ketiga dari Piaget Menyatakan bahwa struktur pikiran di bentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa. Struktur pikiran mendahului kemampuan-kemampuan yang dipakai kemudian untuk berbahasa. Teori keempat dari Vygotsky menyatakan bahwa pada mulanya bahasa dan pikiran berkembang sendiri-sendiri dan tidak saling mempengaruhi; tetapi pada pertumbuhan selanjutnya keduanya saling mempengaruhi; bahasa mempengaruhi pikiran dan pikiran mempengaruhi bahasa. Teori kelima dari Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang bersaingan yang memiliki keotonomiannya masing-masing. Pada tingkat struktur-dalam bahasa-bahasa di dunia ini  sama karena di dasari oleh system unifersal; tetpi pada tingkat struktur-luar bahasa-bahasa itu berbeda-beda.  Teori ke enam dari Lennerberg mengatakan bahwa manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan, berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang khusus untuk manusia; dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa ini mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia. Teori ketujuh dari Bruner menyatakan bahwa bahasa adalah alat bagi manusia untuk berpikir, untuk menyempurnakan dan mengembangkan pemikirannya itu.
Diantara teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling controversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, banyak menimbulkan kritik dan reksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan lain-lain.
Untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1947) mengadakan penelitian terhadap sejumlah wanita jepang yang menikah dengan orang Amerika yang tinggal di San Fransisko, Amerika. Dari penelitian itu Farb menarik kesimpulan bahwa bahasa bukan  menyebabkan perbedaan-perbedaan kebudayaan, tetapi hanya mencerminkan kebudayaan tersebut. Bahasa Jepang mencerminkan kebudayaan jepang, dan bahasa Inggris mencerminkan kebudayaan Inggris.
Satu masalah lagi dari persoalan hubungan bahasa, pemikiran, dan kebudayaan ini adalah apa bedanya kebudayaan dengan pemikiran atau pandangan hidup (weltanschauung). Bukankah kebudayaan itu sama dengan pandangan hidup? Masalah ini sukar di jawab; para sarjana pun berbeda pendapat mengenai  hal ini. Namun, satu hal yang tidak dapat disanggah oleh sipapun, bahwa kebudayaan adalah milik suatu masyarakat, sedangkan pemikiran adalah milik perseorangan. Anggota-anggota masyarakat yang memiliki pemikiran atau pandangan hidup yang berbeda.
Ø  Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran dapat manusia terkondisikan oleh kata yang manusia digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
        2. Pikiran mempengaruhi bahasa
Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.
        3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi.
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif
















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian bab pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa dan pikiran memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal). Variabel berupa domain-domain kognitif dapat dipertimbangkan sebagai pendahulu perkembangan struktur bahasa pada awal tahap perkembangan anak. Namun demikian, ada proses tahapan produksi bahasa (production of language) mungkin lepas atau tidak tergantung pada domain kognitif yang lain. Sebagai bukti misalnya, beberapa individu yang memiliki gangguan keterbatasan bahasa memiliki anterior aphasics di dalam otaknya dengan performansi yang optimal.
Teori-teori atau  hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan. Diantara teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling controversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, namun hipotesis tersebut banyak menimbulkan kritik dan reksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan lain-lain. Dan untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1947) mengadakan penelitian.
para ahli menguraikan mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
2. Pikiran mempengaruhi bahasa
3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi.




DAFTAR PUSTAKA

http://www.pdfqueen.com/pdf/me/psikolinguistik
http://www.scribd.com/doc/3904183/teori-hubungan+bebahasa+berpikir+berbudaya
http://lubisgrafura.wordpress.com/ Kekontroversian-Hipotesis-Sapir-Whorf

Kajian Semiotik Riffatere Terhadap Puisi Arab


Kajian Semiotik Riffatere Terhadap Puisi Arab
A.    Pengantar
Setiap orang memiliki cara yang seringkali berbeda dalam mengungkapkan pandangannya atau pemikirannya terhadap realitas yang ada di sekitar dan yang ditemuinya. Ada yang mengetengahkannya secara langsung di hadapan pembaca sehingga mereka dapat langsung memahami apa yang dimaksudkan. Tetapi tidak jarang justru adanya penggunaan cara yang sepintas lalu belum dapat dipahami karena menggunakan beragam kata yang berarti tidak langsung. Cara yang kedua inilah yang lazim digunakan oleh para penyair untuk mengetengahkan beragam pandangan dan isi hatinya dalam beragam karya sastra. Penggunaan kata yang berarti tidak langsung atau simbol dalam sebuah karya sastra di samping untuk membedakannya dengan karya tulis biasa, juga agar timbul nuansa keindahan dalam rangkaian katanya serta yang tak kalah pentingnya agar tercipta sebuah proses pemahaman yang mendalam bagi para penikmat karya tersebut.
Penggunaan ungkapan seperti di atas pula yang dilakukan oleh seorang sastrawati kawakan Lebanon, Nuhad Wadī’ Haddād atau yang lebih dikenal dengan Fairūz yang dilahirkan di Beirut 21 November 1935, untuk mengungkapkan isi hati sekaligus juga pandangannya tentang Palestina dalam puisinya berjudul al-Quds al-‘Atīqah. Dalam puisi yang dimuat dalam situs internet www.arabicpoem.com ini, penyair yang banyak mendapat penghargaan sastra ini, mengetengahkan dan mengungkapkan pengalamannya saat berkunjung ke negeri yang selalu mengalami masa-masa pergolakan sepanjang zaman hingga seakan-akan tak berkesudahan ini.
Dalam puisi yang memaparkan pantauannya di beberapa sudut Palestina ini, sastrawati yang juga penyiar radio ini mengetengahkan di hadapan penikmat karya sastra sebuah realitas. Realitas yang patut jadi bahan renungan, yaitu bahwa negeri yang menjadi tempat berkumpulnya agama-agama samawi ini tengah menghadapi kondisi yang sangat memprihatinkan dengan memikul beban yang terlampau berat hingga berdampak negatif bagi kehidupan masyarakatnya. Keadaan yang tidak menentu terus dialami masyarakat negeri ini sejak berabad-abad lampau, utamanya sejak terjadinya serangkaian Perang Salib tahun 1095-1291 M hingga perang Arab-Israel yang berujung pada terpecahnya negara Palestina tahun 1946-1948 (Hitti, 2005: 808-836; Yatim, 2006: 76-79). Keadaan yang tidak kondusif ini terus berlangsung sepanjang waktu, bahkan hingga di era modern ini.
Untuk menggambarkan kondisi memprihatinkan yang dialami negeri tetangganya ini, sastrawati yang juga penyanyi ini mengungkapkannya dengan menggunakan simbol. Beberapa simbol yang dipakai Fairūz dalam gubahan puisi ini antara lain: “jalanan yang sepi dari lalu lalang manusia”, pertokoan yang kusam dan semberawut”, “taman-taman yang tak berbunga”, “malam yang sunyi senyap”, “rumah-rumah yang tak berpenghuni”, dan lain sebagainya. Fairūz
Begitu banyak simbol yang diketengahkan penyair dalam puisi ini mengisyaratkan satu hal bahwa ketidakmenentuan kondisi yang menyelimuti masyarakat Palestina telah sedemikian mengkhawatirkan. Ketentraman dan kesejahteraan yang menjadi harapan banyak orang akan sulit terwujud jika kondisi yang melingkupinya tidak kondusif. Dengan pengetengahan puisi ini penyair berharap agar masyarakat pembaca tergugah dan tergerak hati nuraninya untuk bersama-sama membantu penyelesaian masalah yang dialami masyarakat Palestina.
Meskipun demikian, apa yang diungkapkan penyair dalam puisi ini tidak serta merta dapat dipahami oleh pembaca. Dengan demikian, agar metaphora-metaphora yang diungkapkan penyair tersebut semakin bermakna dan dapat dimengerti oleh pembaca, maka penyelidikan dengan menggunakan teori semiotik menjadi penting, sehingga pada gilirannya akan didapatkan atau ditemukan maksud dan tujuan penggubahan puisi ini.

B.     Landasan Teori
Beragam teori sastra telah dilahirkan oleh beragam pakar yang berkecimpung dalam bidang ini. Ada teori sastra yang memfokuskan kajiannya terhadap penulis yang menghasilkan sastra tersebut dan ada pula yang menikberatkan pada karya sastra yang dihasilkannya serta tidak ketinggalan perhatian kepada lingkungan atau situasi yang menjadi tempat lahirnya karya sastra tersebut. Berangkat dari relaitas inilah kemudian Abrams muncul dengan memaparkan beberapa pendekatan kritis untuk menanggapi hal ini, dimana menurutnya terdapat empat pendekatan dalam karya sastra, yaitu: ekspresif atau ekspresi pengarang, pragmatik atau mencapai efek-efek tertentu, objektif atau kebebasan dari lingkungan dan mimetik atau tiruan atau cerminan (Pradopo, 1997: 26-27; Pradopo, 1995: 140, Teeuw, 1984: 50).
Dari beberapa pendekatan kritis ini kemudian lahir sekian ragam teori sastra yang dikemukakan oleh para ahli. Dan di antara beragam teori tersebut, terdapat sebuah teori yang dibangun berdasarkan suatu asumsi bahwa sebuah karya sastra itu sendiri dari tanda-tanda atau simbol yang dapat diinterpretasikan atau ditafsirkan. Teori yang dimaksudkan adalah apa yang kemudian dikenal sebagai teori semiotik.
Teori struktural dan semiotik pada dewasa ini merupakan salah satu teori sastra (kritik sastra) yang terbaru di samping teori estetika resepsi dan dekonstruksi. Akan tetapi, teori ini belum banyak dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia. Pada umumnya kritik sastra atau apa yang dinamakan kritik sastra di Indonesia dewasa ini masih mempergunakan teori-teon sastra (kritik) yang lama, yang sudah ketinggalan dalam perkembangan kemajuan studi sastra pada umumnya (Pradopo, 1995:140).
Teori struktural dan semiotik (Pradopo, 1995:140) merupakan teori kritik sastra objektif.


Dikemukakan Abrams (1971:3-29) bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu pendekatan (1) mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan) (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif, yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman penyair (sastrawan); dan (4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang. Maka dalam kritik ini yang penting adalah karya sastra itu sendiri, yang khusus dianalisis struktur intrinsiknya.
Kritik objektif ini timbul sekitar tahun 1920 dengan tampilnya kaum Kritikus Baru (New Critics) dari Miran Chicago (Chicago School), dan kaum Formalis Eropa (Abrams,1971:37). Sepanjang sejarahnya kritik objektif ini mendapat reaksi-reaksi dan mengalami perbaikan dan penyempurnaan hingga kemudian para kritikus objektif sekarang ini disebut oleh Hawkes (dalam Pradopo, 1995:141) sebagai golongan Kritikus Baru yang Baru (New New Critics) yang lebih menyempurnakan teori-teori kritik sastra dan penerapan kritik sastra objektif. Di antaranya ialah teori struktural dan semiotik.
Semiotik adalah suatu metode analisis untuk mengkaji suatu tanda (Nurgiantoro, 2000: 40). Di samping itu, teori ini seringkali juga disebut sebagai suatu ilmu yang mempelajari objek-objek, peristiwa-peristiwa dan seluruh gejala kebudayaan yang ada sebagai tanda (Eco, 1978: 6-7). Atau, sebagian lain menyebutnya sebagai suatu disiplin yang menyelidiki suatu bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs (tanda-tanda) dan berdasarkan pada sign system (code) atau sistem tanda (Segers, 2000: 4). Suatu tanda mempunyai dua aspek, yaitu: penanda (signifer) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya (Pradopo, 2001: 71).

Untuk keperluan penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori semiotik seperti yang dikemukakan oleh Michael Riffatere dalam buku Semiotics of Poetry, dimana bersama dengan Roland Barthes, Riffatere mengkaji semiotik melalui pendekatatan model post-strukturalisme. Mereka mendasarkan pendapatnya pada suatu asumsi bahwa jika makna hanya ditelaah hanya melalui strukturnya yang dilambangkan dalam kata, maka tidak akan selamanya mampu menampung hakekat makna. Hal ini terjadi karena dalam konteks bahasa sastra yang kompleks, tidak jarang esensi makna justru terdapat di luar makna tersebut, atau makna tidak selalu hadir sesuai dengan penanda strukturnya (Fannanie, 2001: 144-145).
Sebagai implementasi dari pemikiran dan pernyataan tersebut, kemudian Riffatere menulis sebuah buku berjudul Semiotics of Poetry yang memaparkan empat hal penting yang harus dipenuhi dalam pengungkapan sebuah karya sastra. Keempat hal penting tersebut adalah sebagai berikut (Eco, 1978: 6-10; Pradopo, 2001: 75-85; Pradopo, 1990: 30-246; Endraswara, 2006: 63-67) :
1.      Puisi adalah ekspresi tidak langsung. Hal ini berarti bahwa ekspresi tersebut memiliki arti lain ketika diungkapkan. Adapun sebab-sebabnya adalah : a) penggantian arti; b) penyimpangan arti; c) penciptaan arti.
2.      Pembacaan heruistik dan hermeneutik. Pada tahap pertama puisi dibaca dengan pembacaan heruistik, yaitu pembacaan yang bertumpu pada tata bahasa, baik dari aspek gramatikal, bunyi ataupun artinya. Metode ini dinamakan Semiotik Tingkat Pertama atau first order semiotics. Akan tetapi, penerapan langkah pertama ini ternyata tidak sampai pada arti yang sebenranya yang dikehendaki oleh penyair. Untuk itu, dibutuhkan metode yang kedua, yaitu pembacaan hermeneutik untuk mendapatkan arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh penyair. Metode ini dinamakan dengan Semiotik Tingkat Kedua atau second order semiotics.
3.      Untuk memperjelas (dan mendapatkan) makna puisi (karya sastra) secara lebih mendalam, maka selanjutnya dicari tema dan masalah yang terkandung dalam puisi tersebut. Adapun caranya adalah dengan mencari matriks, model, dan varian-varian-nya terlebih dahulu. Suatu ‘matriks’ harus diabstraksikan dari sebuah karya sastra yang dibahas dan tidak dieksplisitkan di dalamnya. Bukan berupa kiasan, tetapi merupakan kata kunci (keyword) yang dapat berupa satu kata, kalimat dan lain sebagainya. Suatu ‘matriks’ belum merupakan tema, tetapi mengarah kepada tema yang dicari. Matriks juga merupakan hipogram intern yang ditransformasikan ke dalam model yang berupa kiasan yang selanjutnya menjadi ‘varian-varian’. Varian ini merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda: baris atau bait, bahkan juga bagian-bagian fiksi, seperti: alinea dan bab yang merupakan wacana yang selanjutnya menjadi ‘masalahnya’. Dari ‘matriks’, ‘model’ dan ‘varian-varian’ ini baru dapat ‘disimpulkan’ atau ‘diabstarksikan’ tema sebuah karya sastra.
4.      Seringkali terjadi sebuah karya sastra merupakan transformasi dari teks (lain) sebelumnya yang menjadi ‘hipogram’-nya, yaitu teks yang menjadi latar belakang terciptanya karya sastra tersebut. Hipogram di sini tidak hanya terbatas pada teks yang berupa tulisan, bahasa dan cerita lisan saja, akan tetapi –sebagaimana menurut Teeuw dan Julia Cristiva bahwa dunia dan alam ini pada hakekatnya adalah teks (Teeuw, 1983: 65)- dapat juga berupa adat istiadat, masyarakat dan aturan-aturan.








C.     Analisis Terhadap al-Quds al-‘Atīqah
Untuk mendapatkan pengertian dan pemahaman yang mendalam terhadap puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz, maka berikut ini akan dilakukan langkah-langkah analisis menggunakan teori semiotik Riffatere.
1. Teks Puisi
Al-Quds Yang Agung
Aku menyusuri jalanan
Jalan-jalan al-Quds yang agung
Di depan pertokoan yang tersisa di Palestina
Kami menceritakan sebuah berita
Mereka memberiku vas bunga
Mereka berkata kepadaku: sebuah hadiah
Dari para penjaga manusia
Aku berjalan di jalanan
Jalan-jalan al-Quds yang agung
Berhenti di depan pintu penjagaan
Ia dan kami menjadi sahabat
Dan kedua mata mereka berlinang kesedihan
Karena penderitaan kota
Ia membawa dan menunjukkanku kepedihan derita
Berada di atas bumi dengan beragam problem sosial
Masalah kependudukan di bawah matahari dan di antara angin
Ia ada di rumah-rumah dan remaja
Ada pada anak-anak yang di tangannya buku
Malam-malamnya penuh kesedihan
Dan kedua tangannya kehitaman terlepas dari gerbang
Hingga membuat rumah-rumah tak berpenghuni
Di antara mereka seperti duri dan api
Kedua tangannya kehitaman
Jalan-jalan penuh dengan suara hiruk pikuk
Jalan-jalan al-Quds yang agung
Tanpa nyayian yang terbang bersama topan dan kesia-siaan
Hai suaraku! Naunganmu terbang bersama rintihan suara hati
Kabarkan kepada mereka kelemahanku dengan segala kerelaan hati
2. Pembacaan Heruistik
Langkah pertama yang dilakukan dalam penelaahan puisi ala Riffatere adalah pembacaan ‘heruistik’, yaitu pembacaan bait-bait puisi berdasarkan struktur kebahasaannya. Selanjjutnya, agar semakin memperjelas arti yang terkandung di dalamnya maka jika dianggap perlu dapat diberi sisipan kata atau sinonimnya yang diletakkan dalam tanda kurung. Demikian juga dengan struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), dan jika diperlukan susunannya dibalik untuk dapat semakin memperjelas arti.
Berikut ini adalah pembacaan heruistik terhadap puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz ini.
Bait pertama
Aku (berjalan) menyusuri jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan al-Quds (Yerussalem) yang agung. (Ketika sampai) di depan pertokoan yang (masih) tersisa dari Palestina, (maka kemudian) kami menceritakan (menyampaikan) sebuah berita (kepada penduduknya), mereka (pun membalasnya dengan) memberiku vas bunga, (sambil) mereka berkata kepadaku: (ini) sebuah hadiah, dari para penjaga manusia (yang tersisa dari negeri ini).
Bait Kedua
Aku (terus) berjalan di jalan-jalan. (Yaitu) Jalan-jalan al-Quds (Yerussalem) yang agung. (Kemudian aku) berhenti di depan gerbang (kota), ia (masyarakat) dan kami (rombongan) menjadi sahabat (yang saling mengenal), dan (kemudian dari) kedua mata mereka berlinang kesedihan, karena penderitaan (yang dialami oleh) kota (ini).
Bait Ketiga
(Kemudian) ia membawa (menuntun) dan menunjukkanku (memperlihatkan kepadaku) kepedihan derita (penderitaan yang dialami oleh kota ini, (sebuah negeri yang) berada di atas bumi dengan beragam problem sosial, (begitu juga dengan) persoalan kependudukan di bawah matahari dan di antara angin (beragam problem yang tak kunjung usai), (dan karena banyaknya problem tersebut maka) ia ada (dapat dijumpai) di (dalam) rumah-rumah dan remaja, (masalah tersebut juga) ada di anak-anak (bersekolah) yang di tangannya buku, (akibatnya) malam-malamnya penuh (dengan) kesedihan, (sehingga membuat) kedua tangannya kehitaman terlepas dari gerbang (yang menjadi pegangan). (akibat selanjutnya) hingga membuat rumah-rumah tak berpenghuni (karena ditinggal penghuninya), (dan kadang-kadang) di antara mereka (penduduk negeri ini) seperti duri dan api (yang sewaktu-waktu dapat saling menyakiti), (karena) kedua tangannya kehitaman.
Bait Keempat
Jalan-jalan penuh suara hiruk pikuk (penduduk kota), (yaitu) jalan-jalan al-Quds (Yerussalem) yang agung, (suara-suara tersebut) tanpa nyanyian (karena) terbang bersama (angin) topan dan kesia-siaan (tan berarti apa-apa). (maka kemudian aku berteriak) Hai suaraku! Naunganmu terbang (lenyap) bersama rintihan suara hati, (karena itu) kabarkanlah kepada mereka (orang-orang di seluruh dunai) kelemahanku dengan segala kerelaan hati.
3. Pembacaan Hermeneutik
Langkah selanjutnya dalam penelaahan puisi menurut Riffatere adalah pembacaan ‘hermeneutik’ (retroaktif) atau penafsiran puisi yang dilakukan dengan cara ‘hermeneutik’ berdasarkan konvensi sastra, yaitu sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra dimaksud menurut Riffatere (Pradopo, 2001: 102) di antaranya adalah konvensi ketidak langsungan arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti. Penggantian arti berujud pada penggunaan metaphora dan metonimi atau bahasa kiasan, dan penyimpangan ari disebabkan oleh ambiguitas (arti ganda), kontradiksi (pertentangan arti) dan ‘nonsense’ (tidak memiliki arti secara linguistik), sedangkan penciptaan arti disebabkan oleh pemanfaatan bentuk visual, misalnya persajakan dan tipografi.
Dalam penelaahan menggunakan pembacaan ‘retroaktif’ terhadap puisi ini, maka terutama akan dilakukan terhadap bahasa kiasan atau secara khusus lagi terhadap metaphora atau ambiguitas yang terdapat di dalamnya. Adapun lebih jelasnya, sebagaimana berikut ini:
“al-Quds yang agung”, berarti Yerussalem atau Palestina yang sebenarnya mulia akan tetapi penuh dengan penderitaan akibat konflik yang berkepanjangan. Adapun secara keseluruhannya tafsiran terhadap puisi ini adalah sebagai berikut ini :
  1. Penderitaan berkepanjangan yang menimpa Palestina perlu mendapat perhatian yang lebih serius dengan cara melihat kondisinya secara langsung. Hal ini karena masyarakatnya sangat mendambakan perhatian, kepedulian dan bantuan dari masyarakat dunia lainnya.
  2. Dengan menyaksikan kondisi secara langsung, maka akan dapat diketahui pula apa sesungguhnya yang dialami oleh masyarakat Palestina. Dengan demikian, bantuan yang akan diberikan menjadi tepat pada sasaran yang dibutuhkan oleh masyarakat negeri ini.
  3. Persoalan yang membelit Palestina meliputi seluruh aspek kehidupan yang dilalui  masyarakatnya. Mulai dari persoalan sosial, pendidikan, kependudukan, ekonomi, keamanan dan lain sebagainya yang dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat dari anak-anak, remaja hingga orang tua.
  4. Persoalan yang menimpa Palestina telah berlangsung sangat lama, akan tetapi makin berkembang pesat sejak pendirian negara Zionis Israel di tanah Palestina. Meskipun demikian, persoalan yang membelit Palestina tersebut bukan hanya berkaitan dengan Israel saja, tetapi juga di antara sesama warga Palestina sendiri. Persoalan ini muncul karena perbedaan pandangan antara kelompok sekuler yang diwakili oleh Fatah dengan PLO-nya yang cukup akomodatif terhadap Israel dan kelompok Islam dengan Hamasnya yang sangat anti Israel. Kedua kelompok ini saling mengklaim mendapat dukungan masyarakat Palestina sehingga sering timbul pertentangan dan peperangan yang tidak jarang memakan korban jiwa dan harta benda.
  5. Karena konflik yang berkepanjangan, baik dengan Israel maupun sesama mereka, banyak warga Palestina yang memilih meninggalkan tanah airnya dan pindah ke negara-negara tetangga seperti Yordania dan Lebanon.
  6. Kondisi masyarakat Palestina yang penuh dengan penderitaan ini harus terus disuarakan, disampaikan dan diberitakan ke seluruh dunia agar masyarakat seluruh jagad tahu apa yang dialami oleh negeri di Timur Tengah ini.
4. Tema dan Masalah al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz
Jika merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Riffatere (Pradopo, 2001: 102; Endraswara, 2006: 65), maka untuk dapat mengetahui isi kandungan puisi ini diperlukan upaya pencarian tema dan masalah yang terdapat di dalamnya. Meskipun demikian, tema dan masalah yang terdapat dalam sebuah puisi tidak serta merta dapat ditemukan dan didapatkan, tetapi hendaknya dicari terlebih dahulu matriks, model, dan varian-varian-nya.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ‘matriks’ yang menjadi kata kunci dari puisi ini adalah ‘jalan-jalan Palestina’. Hal ini karena ‘jalan-jalan Palestina’ menjadi sesuatu yang sentral dan menjadi titik tolak dari penelusuran penyair dalam mengungkapkan gambaran Palestiana sebagaimana yang diamatinya. Selanjutnya, dalam pengamatan peneliti, seakan-akan penyair sengaja ingin mengarahkan pembaca bahwa jika ingin mengetahui bagaimanakah Palestina, maka telusurilah ‘jalan-jalan al-Quds’ niscaya akan dijumpai apa yang ingin kita ketahui.
Adapun ‘model’ sekaligus juga ‘varian-varian’-nya adalah bahwa pada bait pertama penyair mengetengahkan gambaran Palestina melalui jalan-jalan secara umum, dimana terdapat gambaran bangunan yang masih tersisa akibat pertikaian serta sambutan yang hangat dari penduduknya dengan ungkapan terima kasih mereka. Beranjak pada bait kedua, penyair mulai sedikit lebih terperinci menggambarkan bagaimana potret Palestina tersebut di dalam puisinya, seperti sambutan yang kembali sangat meriah sambil menceritakan kesedihan-kesedihan yang mereka alami. Pada bait ketiga, dengan secara jelas dan sangat mendetail penyair mengetengahkan apa sebenarnya yang dihadapi Palestina dengan segudang persoalannya. Pada bait ketiga ini, penyair mengetengahkan persoalan-persoalan Palestina; sosial, keamanan, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Terakhir, pada bait keempat penyair mengungkapkan terjadinya puncak akumulasi persoalan-persoalan yang dihadapi Palestina tersebut, seperti terjadinya kekisruhan di jalan-jalan dalam demonstrasi serta penyesalan penyair kenapa ia tidak mampu untuk membantu, sekaligus juga kritikannya kepada pihak-pihak yang tidak menggubris realitas ini dengan sungguh-sungguh.
Dengan diketahuinya ketiga hal yang penting di atas, maka selanjutnya dapat dinyatakan tema dan masalah yang terdapat dalam puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz ini. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tema puisi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “konflik yang berkepanjangan membentuk akumulasi beragam persoalan yang menimpa Palestina sehingga menyebabkan rakyatnya hidup dalam kesengsaraan dan keterbelakangan dalam segala hal dan setiap saat mereka senantiasa mengharapkan bantuan dalam bentuk apa pun dari orang-orang yang bersimpati di seluruh dunia”.
5. Hipogram Puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz
Penentuan hipogram atau latar belakang terciptanya sebuah puisi jika merujuk pada pengertian sempit, yaitu berupa karya sastra yang sama, maka akan sangat sulit dilakukan. Meskipun demikian, jika kembali kepada pendapat yang dikemukakan oleh Teeuw dan Cristiva (Teeuw, 1983: 65; Pradopo, 2001: 82), bahwa pada hakekatnya alam ini adalah hipogram, maka dapat disimpulkan bahwa latar belakang penciptaan puisi ini adalah Palestina dengan segala persoalan yang dihadapinya.
Hal ini karena berdasarkan beberapa alasan yang peneliti temukan, yaitu pertama bahwa kata ‘al-Quds’ yang melekat pada judul puisi ini dan disebutkan sebanyak tiga kali dalam bait-baitnya adalah merujuk pada kota al-Quds atau yang biasa juga dikenal dengan Yerussalem yang terdapat di Palestina. Kedua, terdapat kata ‘Palestina’ di baris ketiga pada bait pertama yang sangat jelas merujuk pada negeri Palestina yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Lebanon, tanah kelahiran dan tempat tinggal penulis puisi ini. Ketiga, telah menjadi kebiasaan dan tuntutan tugas Fairūz sebagai selebritas, pelaku budaya dan sastrawati Lebanon untuk melakukan lawatan ke berbagai negara dalam beragam event kebudayaan dan di tempat yang dikunjunginya tersebut ia biasa menulis puisi menceritakan apa yang ditemuinya. Palestina adalah negara tetangganya yang telah berulangkali dikunjunginya, apalagi ia juga pernah menerima penghargaan dari pemerintah negeri ini. Dengan demikian, dapat dipahami jika puisi ini merupakan bentuk apresiasinya yang mendalam terhadap kondisi yang dialami masyarakat Palestina.
D.    Kesimpulan
Berdasarkan penelaahan yang dilakukan peneliti terhadap al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz dengan menggunakan teori semiotik Riffatere sebagaimana di atas, maka didapatkan beberapa kesimpulan berikut ini, yaitu:
  1. Simbol atau kata berarti tidak langsung yang terdapat dalam puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz merupakan cara penyair untuk mengetengahkan pandangannya mengenai Palestina. Meskipun demikian, simbol-simbol tersebut hanya dapat dipahami dengan menggunakan tahapan-tahapan penelaahan puisi menurut cara Riffatere.
  2. Palestina adalah sebuah wilayah strategis di Timur Tengah yang dapat menghubungkan beberapa kawasan dengan kawasan lainnya serta memiliki nilai historis yang tinggi. Meskipun demikian, wilayah ini terus mengalami pergolakan yang berkepanjangan antara beberapa kekuatan yang hendak menguasainya, baik dari luar maupun dari dalam Palestina. Akibatnya, kehidupan masyarakatnya menjadi terabaikan, jauh dari kedamaian, kesejahteraan serta beragam persoalan lain. Setiap saat rakyat Palestina menanti uluran tangan dan bantuan dari pihak manapun yang bersimpati dengan penderitaan yang mereka alami.





Catatan :
Di antara penghargaan yang pernah diterima Fairūz sebagai sastrawati Lebanon adalah Medali Kehormatan dari Pemerintah Lebanon tahun 1957, 1962-1963 dan dari Pemerintah Syiria tahun 1967. Di samping itu, beberapa penghargaan lain juga pernah mampir di tangannya, seperti dari Yordania (1975 dan 1998), Prancis (1988 dan 1997), Palestina (1997), dan Tunisia (1997). Lebih lanjut, dapat ditemukan dalam: www.arabicpoem.com/fairuz.
PLO adalah Palestinian Liberation Organization atau organisasi perlawanan Palestina yang menjadi wadah politik bagi kelompok Fatah dalam memperjuangkan cita-cita Palestina menurut pandangan mereka. Sedangkan Hamas adalah Harakah Muqāwamah al-Islāmiyyah yang berarti gerakan perlawanan Islam yang menjadi wadah politik bagi kelompok Islam di Palestina dalam memperjuangkan cita-cita mereka. Di antara implementasi dari gerakan ini adalah munculnya perlawanan terhadap pendudukan Palestina oleh Israel dengan menggunakan batu yang sangat terkenal dengan nama ‘Intifadhah’.









DAFTAR PUSTAKA
Eco, Umberto. 1978. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: PT. Pustaka Widyastama.
Fannanie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Cetakan Kedua. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
————-. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Pradopo, Rachmad Djoko. 1995. Beberapa Teori sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
————————————–. 2001. Penelitian Sastra Dengan Pendekatan Semiotik. Dalam “Metodologi Penelitian Sastra”. Drs. Jabrohim (ed.). Yogyakarta: PT. Hanindita.
————————————-. 1997. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
————————————. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Segers. Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
www.arabicpoem.com/fairuz.