HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR, DAN BERBUDAYA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala
sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu
memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk
pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang
memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol
abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai
tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses
berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998). Ernst Cassier menyebut
manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara
generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier,
Keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan
berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannnya berbahasa. Seorang filosof
kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan
apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal,
secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan
bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka (Sumaryono, 1993). Sebuah uraian
yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh
Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh
sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker,
2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia
mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Hubungan antara bahasa dan pikiran adalah sebuah
tema yang sangat menantang dalam dunia kajian psikologi. Sejarah kajian ini
dapat ditilik dari psikolog kognitif, filosof dan ahli linguistik. Para ilmuwan
menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa
aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut,
misalnya identifikasi aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran ruang bidang
(reasoning spatial) dan aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran terhadap
pikiran lain (reasoning about other minds).
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 HUBUNGAN
BERBAHASA, BERPIKIR, DAN BERBUDAYA
Menurut
Abdul Chaer, (Psikolinguistik; 2002) Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau
perasaaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam
kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah
tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia
Berbahasa,
dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantic dan
encode gramatikal didalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat encode
fonologi. Kemudian di lanjutkan dengan penyusunan decode fonologi, decode
gramatikal, dan decide semantic pada pihak pendengar yang terjadi di dalam
otaknya.
Di sini tidak akan dijawab masalah itu, melainkan hanya
akan dikemukakan pendapat sejumlah pakar. Kemudian dicoba membuat konklusi atau
komentar terhadap teori-teori mengenai masalah tersebut yang telah ada sejak
abad yang silam.
2.1.1 Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilman helm Von
Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikir
manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya masyarakat
ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu
tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh
bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah
pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka
dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat
bahasa lain.
Mengetahui
bahasa itu sendiri Von Humbolt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri
dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa
pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan
pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform atau innereform. Jadi, bahasa menurut
Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi(lautform) dan pikiran (ideeform).
Dari keterangan
itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan
pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar,
sedangkan bentuk dalam-bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah
yang’’membelenggu’’ manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain,
Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan
dalam( otak,pemikir) penutur bahasa itu.
2.1.2 Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir
(1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von
Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah ’’belas
kasih’’ bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya
bermasyarakat. Menurut sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu
masyarakat sebagian ’’didirikan’’ diatas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa
itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap
mewakili satu masyarakat yang sama.
Benjamin Lee
Whorf (1897-1941), murid sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan
bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal
yang berdiri sendiri-sendiri.
Sama
halnya dengan Von Humboldt dan sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa
menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya
sendiri. Sebagai contoh, whorf yang
bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan ’’kaleng kosong’’ bekas minyak bisa
meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya.
Setelah
meneliti bahasa hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat,
dengan mendalam, whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis
Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf)
mengenai relatifitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang
berbeda’’membedah’’ alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah
satu relatifitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa yang
beragam itu.
Berdasarkan
hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup
bangsa-bangsa di Asia Tenggara( Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain)
adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan
hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa , Afrika, dan
lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk
memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi di organisasi
berdasarkan peristiwa-peristiwa(event) , sedangkan kebudayaan eropa
diorganisasi berdasarkan ruang(space) dan waktu (time).
2.1.3
Teori Jean Piaget
Berbeda
dengan pendapat Sapir dan Whorf, Piaget, sarjana perancis, berpendapat
justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak aka nada.
Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa: bukan
sebaliknya.
Piaget
yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi (Piaget, 1962) menyatakan jika
seseorang anak-anak dapat menggolongkan sekumpulan benda-benda tersebut dengan
menggunakan kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka
perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat
berbahasa.
Mengenai
hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan
dua hal penting berikut:
1) Sumber
kegiatan intelek tidak terdapat dalam
bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik, yakni satu sistem skema,
dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari
aspek-aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan
benda-benda(sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar
penyimpanan dan opersai pemakaian kembali.
2) Pembentukan
pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan
dengan pemerolehan bahasa. Keduanya miliki
suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambing pada
umumnya. Fungsi lambing ini mempunyai beberapa aspek. Awal terjadi fungsi
lambing ini ditandai oleh bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak dalam
perkembangannya. Ucapan-ucapan bahasa pertama yang keluar sangat erat
hubungannya dan terjadi serentak dengan permainan lambing, peniruan,dan
bayangan-bayangan mental.
Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek
(pemikiran) sebenarnya adalah aksi dan perilaku yang telah dinuranikan dan
dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu di
ingat adalah bahwa dalam jangka waktu
sensormotor ini kekelan benda merupakan pemerolehan umum.
2.1.4 Teori L.S. Vygotsky
Vygotsky,
sarjana bangsa Rusia, berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum
adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya
bahasa. Kemudian, kedua garis
perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran
berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap
permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi,
mula-mula pikian berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa
pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, serta
saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak berpikir dengan menggunakan bahasa dan
berbahasa dengan menggunakan pikiran.
Menurut Vygotsky
dalam mengkaji gerak pikiran ini kita
harus mengkaji dua bagian ucapan dalam yang mempunyai arti yang merupakan aspek
semantic ucapan, dan ucapan luar yang merupakan aspek fonetik atau aspek
bunyi-ucapan. Penyatuan dua bagian atau aspek ini sangat rumit dan kompleks.
Pikiran dan
kata, menurut Vygotsky (1962:116) tidak dipotong dari satu pola. Struktur
ucapan tidak hanya mencerminkan, tetapi juga mengubahnya setelah pikiran
berubah menjadi ucapan.
2.1.5 Teori Noam
Chomsky
Mengenai
hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang
disebut Hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori ini
tidak secara langsung membicarakan hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi kita dapat menarik
kesimpulan mengenai hal itu karena Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian
bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran)
manusia. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah nurani.
Artinya, rumus-rumus itu di bawa sejak lahir. Pada waktu seorang anak-anak
mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu
peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat unifersal.
Sebelum
ini ada pandanagan dari Von Humboldt yang tampak tidak konsisten. Pada satu
pihak Von Humboldt menyatakan keragaman bahasa-bahasa di dunia ini mencerminkan
adanya keragaman pandangan hidup (weltanschauung); tetapi dipihak lain beliau
berpendapat bahwa yang mendasari tiap-tiap bahasa manusia adalah satu system-
universal yang menggambarkan keunikan intelek manusia. Karena itu, Von Humboldt
juga sependapat dengan pandangan rasionalis yang mengatakan bahwa bahasa
tidaklah dipelajari oleh anak-anak dan tidak pula di ajakan oleh ibu-ibu,
melainkan tumbuh sendiri dari dalam diri anak-anak itu dengan cara yang telah
ditentukan lebih dahulu (oleh alam) apabila keadaan-keadaan lingkungan yang
sesuai terdapat.
Pandangan
Von Humboldt yang tidak konsisten itu dapat diperjelas oleh teori Chomsky.
Menurut Chomsky yang sejalan dengan pandangan rasionalis, bahasa-bahasa yang
ada di dunia adalah sama( karena didasari oleh satu system yang universal)
hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang di sebut struktur-dalam(deep
structure), pada tingkat luar atau struktur luar (surface
structure)bahasa-bahasa itu berbeda-beda.
Hipotesis
nurani berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur
dalam setiap bahasa bersifat otonom; dank arena itu, tidak ada hubungannya
dengan system kognisi (pemikiran) pada umunya termasuk kecerdasan.
2.1.6 Teori Eric
Lenneberg
Berkenaan dengan
masalah hubungan bahasa dan berfikir, Eric mengajukan teori mengajukan teori
yang disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut
Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi
asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk
manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran. Bukti
bahwa manusia telah dipersiapkan secara
biologis untuk berbahasa menurut Leeneberg adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan
berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi
manusia, seperti bagian-bagian, otak tertentu yang mendasari bahasa.
2) Jadwal
perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua anak-anak normal. Semua
anak-anak bias dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih
dulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi.
3) Perkembangan
bahasa tidak dapat dihambat meskipun poda anak-anak yang mempunyai cacat
tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun,
bahasa anak-anak ini tetap berkembang dengan hanya sedikit kelambatan.
4) Bahasa
tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum pernah ada
makhluk lain yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah di ajar dengan
cara-cara yang luar biasa.
5) Setiap
bahasa, tanpa kecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantic, sintaksis, dan
fonologi yang universal.
Jadi,
terdapat semacam pencabangan dalam teori Leenneberg ini. Dia seolah-olah
bermaksud membedakan perkembangan bahasa dari segi ontogenetis (pemerolehan
bahasa oleh individu) dan dari segi filogenetis (kelahiran bahasa suatu
masyarakat). Dalam hal ini pemerolehan bahasa secara ontogenetis tidak ada
hubungannya dengan kognisi; sedangkan secara filogenetis kelahiran bahasa suatu
masyarakat sebagiannya ditentukan oleh kemampuan bahasa nurani, dan sebagian lagi oleh kemampuan kognitif
nurani, bukan bahasa yang lebih luas.
Lenneberg
dalam Teori Kemampuan Bahasa Khusus telah menyimpulkan banyak bukti yang
menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang
khusus untuk manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Namun,
dalam bukunya yang ditulis kemudian (1967), beliau mulai cenderung beranggapan
bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas,
sehingga menyerupai pandangan Piaget.
2.1.7 Teori Bruner
Berkenaan dengan
masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya
Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk
mengembangkan dan menyempurnakan pemikir itu. Dengan kata lain, bahasa dapat
membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis.
Dalam bidang
pendidikan, implikasi teori Bruner ini sangat besar. Memang dalam hubungan
inilah beliau ingin mengembangkan teori ini.
Di samping adanya dua
kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan linguistic dan kecakapan
komunikasi, teori Bruner ini juga memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang
dimiliki oleh setiap manusia yang berbahasa.
Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi
lebih baik dengan pendidikan melalui bahasa yang formal karena kemampuan
analisis ini hanya mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai kecakapan
komunikasi yang baik.
2.1.8 Kekontroversian
Hipotesis Sapir-Whorf
Teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas
tampak cenderung saling bertentangan. Teori pertama dari Von Humboldt
mengatakan bahwa adanya pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya keragaman sistem bahasa dan adanya
system bahasa dan adanya system unifersal yang
dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Teori kedua dari
Sapir-Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa nenentukan struktur pikiran. Teori
ketiga dari Piaget Menyatakan bahwa struktur pikiran di bentuk oleh perilaku,
dan bukan oleh struktur bahasa. Struktur pikiran mendahului kemampuan-kemampuan
yang dipakai kemudian untuk berbahasa. Teori keempat dari Vygotsky menyatakan
bahwa pada mulanya bahasa dan pikiran berkembang sendiri-sendiri dan tidak saling
mempengaruhi; tetapi pada pertumbuhan selanjutnya keduanya saling mempengaruhi;
bahasa mempengaruhi pikiran dan pikiran mempengaruhi bahasa. Teori kelima dari
Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang
bersaingan yang memiliki keotonomiannya masing-masing. Pada tingkat
struktur-dalam bahasa-bahasa di dunia ini
sama karena di dasari oleh system unifersal; tetpi pada tingkat
struktur-luar bahasa-bahasa itu berbeda-beda.
Teori ke enam dari Lennerberg mengatakan bahwa manusia telah menerima
warisan biologi ketika dilahirkan, berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa
yang khusus untuk manusia; dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau
pemikiran. Kemampuan berbahasa ini mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ
manusia. Teori ketujuh dari Bruner menyatakan bahwa bahasa adalah alat bagi
manusia untuk berpikir, untuk menyempurnakan dan mengembangkan pemikirannya
itu.
Diantara teori atau hipotesis di atas barangkali
hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling controversial. Hipotesis ini yang
menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau
dipengaruhi oleh struktur bahasanya, banyak menimbulkan kritik dan reksi hebat
dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi,
antropologi dan lain-lain.
Untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1947)
mengadakan penelitian terhadap sejumlah wanita jepang yang menikah dengan orang
Amerika yang tinggal di San Fransisko, Amerika. Dari penelitian itu Farb
menarik kesimpulan bahwa bahasa bukan
menyebabkan perbedaan-perbedaan kebudayaan, tetapi hanya mencerminkan
kebudayaan tersebut. Bahasa Jepang mencerminkan kebudayaan jepang, dan bahasa
Inggris mencerminkan kebudayaan Inggris.
Satu masalah lagi dari persoalan hubungan bahasa,
pemikiran, dan kebudayaan ini adalah apa bedanya kebudayaan dengan pemikiran
atau pandangan hidup (weltanschauung). Bukankah kebudayaan itu sama dengan
pandangan hidup? Masalah ini sukar di jawab; para sarjana pun berbeda pendapat
mengenai hal ini. Namun, satu hal yang
tidak dapat disanggah oleh sipapun, bahwa kebudayaan adalah milik suatu
masyarakat, sedangkan pemikiran adalah milik perseorangan. Anggota-anggota
masyarakat yang memiliki pemikiran atau pandangan hidup yang berbeda.
Ø Beberapa
uraian para ahli mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya
terhadap realitas. Pikiran dapat manusia terkondisikan oleh kata yang manusia
digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin Whorf dan gurunya,
Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai
pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam
mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai
pemahaman yang mendetail tentang realitas.
2. Pikiran mempengaruhi bahasa
Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi
kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang
dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat
bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang
digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang
digunakannya.
3. Bahasa dan pikiran saling
mempengaruhi.
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran
dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia
yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa
dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat
di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari uraian bab pembahasan dapat ditarik kesimpulan
bahwa bahasa dan pikiran memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi
(resiprokal). Variabel berupa domain-domain kognitif dapat dipertimbangkan
sebagai pendahulu perkembangan struktur bahasa pada awal tahap perkembangan
anak. Namun demikian, ada proses tahapan produksi bahasa (production of
language) mungkin lepas atau tidak tergantung pada domain kognitif yang lain.
Sebagai bukti misalnya, beberapa individu yang memiliki gangguan keterbatasan
bahasa memiliki anterior aphasics di dalam otaknya dengan performansi yang
optimal.
Teori-teori atau
hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling
bertentangan. Diantara teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis
Sapir-Whorf-lah yang paling controversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwa
jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh
struktur bahasanya, namun hipotesis tersebut banyak menimbulkan kritik dan
reksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik,
sosiologi, antropologi dan lain-lain. Dan untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf
itu, Farb (1947) mengadakan penelitian.
para ahli menguraikan mengenai keterkaitan antara
bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
2. Pikiran mempengaruhi bahasa
3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.pdfqueen.com/pdf/me/psikolinguistik
http://www.scribd.com/doc/3904183/teori-hubungan+bebahasa+berpikir+berbudaya
http://lubisgrafura.wordpress.com/
Kekontroversian-Hipotesis-Sapir-Whorf