Jumat, 27 Juli 2012

Teater Tradisional


BAB I
PENDAHULUAN


  1. Latar belakang
Teater merupakan suatu media langsung atau media komunikasi langsung yang djadikan wahana penting dalam menyebarkan kebudayaan dan pemikiran di sepanjang zaman. Teater terkadang mengisahakan tragedi yang begitu menyedihkan yang terkadang memaksa penonoton untuk terhanyut turut menangis dan terkadang pula ada teater yang terkadang menyodorkan pertanyaan kepada publik, akan tetapi ada juga teater yang bisa membuat penontonnya tertawa lebar.

Perubahan struktural dalam substansi teater tradisional perlu diciptakan namun tetap mempertahankan secara utuh kaidah pementasan, sehingga bisa terwujud pengalaman baru. Bahkan dalam beberapa kasus, format dan penampilan pementasan harus diubah juga. Masyarakat sekarang sangat berbeda dengan tipe masyarakat ratusan tahun yang lalu. Mereka memiliki tuntutan dan selera yang baru pula. Karena itu, teater mesti menggarap persoalan hidup sehari-hari mereka. Dengan begitu, inovasi semacam itulah yang akan menjamin kelestarian teater tradisional dan menjaganya untuk generasi mendatang".

Teater tradisional yang kita kenal sekarang lahir dari situasi sosial tertentu yang berbeda dengan kondisi sekarang. Ada banyak peneliti teater yang mengakui bahwa jika teater tradisional dipentaskan sesuai dengan format aslinya, tentu tidak akan banyak menarik minat publik. Dan perlahan akan mengubahnya menjadi ragam seni yang layak dimuseumkan.

Teater tradisional merupakan bagian dari identitas budaya dan menjadi kekayaan kultural bangsa-bangsa yang berperadaban kuno. Meski demikian sebagian besar pakar seni menilai perlu diadakannya perubahan dalam menampilkan seni pentas tersebut sesuai dengan tuntutan masyarakat modern. Menggali kembali akar sejarah teater tradisional merupakan langkah awal untuk menggelar perubahan. Selain itu, mengenal asal-asul dan mencari unsur-unsur asli teater tradisional dengan cara memisahkannya dari tendensi sosial dan politik yang melingkupinya di masa lalu merupakan salah satu cara untuk menemukan format dasarnya. Selain itu, memadukan teater tradisional dengan sentuhan modern yang lebih inovatif seperti penggunaan tata cahaya, dekorasi, dan musik merupakan salah satu cara untuk membuat seni pentas tradisional terlihat makin menarik.

Pementasan teater tradisional secara klasik sudah tidak menarik lagi bagi publik modern dan hanya menghibur mereka beberapa jam saja. Karena itu, upaya mempromosikan teater tradisional harus diiringi dengan rekonstruksi seni pentas ini. Kehidupan masyarakat tradisional dan problematika mereka harus bisa menyusup dalam teater tradisional. Sebab hanya dengan cara itulah teater tradisional bisa tetap bertahan.
Pada makalah ini penulis mengemukakan tentang beragam teater tradisional yang ada di Indonesia.

  1. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah:
1.      Mengetahui tentang kebudayaan Indonesia, terutama teater tradisional.
2.      Mengetahui perkembangan teater tradisional di Indonesia.
3.      Mengetahui macam-macam teater tradisional.
4.      Mengetahui manfaat dari ritual-ritual yang dilakukakan masyarakat.
5.      Mengetahui makna teater tradisional
6.      Mengetahui ciri-ciri teater tradisional




BAB II
PEMBAHASAN


A.    Arti Teater

Secara etimologis : Teater adalah gedung pertunjukan atau auditorium.
Dalam arti luas : Teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak

Dalam arti sempit : Teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media : Percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dsb. Misalnya wayang orang, ketoprak, ludruk, arja, reog, lenong, topeng, dagelan, sulapan akrobatik, bahkan pertunjukan band dan lain sebagainya.

Dalam arti sempit/khusus: drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh penonton, dengan media percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor (setting), didasarkan atas naskah yang tertulis (hasil dari seni sastra) dengan atau tanpa musik, nyanyian, tarian.

B.     Teater Tradisional
Teater yang berkembang dikalangan rakyat disebut teater tradisional, sebagai lawan dari teater modern dan kontemporer. Teater tradisional tanpa naskah (bersifat inprovisasi). Sifatnya supel, artinya dipentaskan disembarang tempat. Jenis ini masih hidup dan berkembang didaerah-daerah seluruh Indonesia. Teater tradisional tidak menggunakan naskah. Sutradara hanya menugasi pemain untuk memainkan tokoh tertentu. Para pemain di tuntut mempunyai spontanitas dalam berimprovisasi yang tinggi. Contoh teater tradisional antara lain: ludruk (Jawa timur), ketoprak (Jawa tengah), dan lenong (Jawa barat) .Yang disebut teater tradisional itu, oleh Kasim Ahmad diklarifikasikan menjadi 3 macam, yaitu:
  1. Teater rakyat
Sifat teater rakyat sama halnya seperti tradisional, yaitu improvisasi, sederhana, spontan dan menyatu dengan kehidupan rakyat. Contohnya antara lain: Makyong dan Mendu didaerah Riau dan Kalimantan Barat, Randai dan Bakaba di Sumatera Barat, Ketoprak, Srandul, Jemblung di Jawa Tengah dan lain sebagainya.
  1. Teater Klasik
Sifat teater ini sudah mapan, artinya segala sesuatunya sudah teratur, dengan cerita, pelaku yang terlatih, gedung pertunjukkan yang memadai dan tidak lagi menyatu dengan kehidupan rakyat (penontonnya). Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerajaan. Sifat feodalistik tampak dalam jenis teater ini. Contohnya: wayang kulit, wayang orang dan wayang golek. Ceritanya statis, tetapi memiliki daya tarik berkat kretatifitas dalang atau pelaku teater tersebut dalam menghidupkan lakon.
  1. Tetaer Transisi
Teater transisi merupakan teater yang bersumber dari teater tradisional, tetapi gaya penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater barat. Jenis teater seperti komedi istambul, sandiwara dardanela, srimulat dan sebagai contoh, pola ceritanya sama dengan ludruk atau ketoprak, tetapi jenis ceritanya diambil dari dunia modern. Musik, dekor dan properti lain menggunakan tehnik barat.

C.     Ciri-ciri Teater Tradisional

Teater Tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Pementasan panggung terbuka (lapangan, halaman rumah),
2.      Pementasan sederhana,
3.      Ceritanya turun temurun.


D.    Ragam Teater Tradisional
Teater Tradisional adalah bentuk pertunjukan yang pesertanya dari daerah setempat karena terkondisi dengan adat istiadat, sosial masyarakat dan struktur geografis masing-masing daerah.
Beberapa contoh teater tradisional nusantara antara lain:
a.       Lerok, Lerok Ngamen, Lerok Besutan, Ludruk, Longser dan Ubrug,
b.      Drama Gong
c.       Bengsawan, Mendu dan Wayang Gong
d.      Wayang Wong, Golek Menak, Lengendarian dan sendratari
e.       Cak, Barong, Gambuh dan Prembon
f.       Mak Yong dan Randai

E.     Teater tradisional Jawa Barat dan Jawa Timur
a.       Lerok Ngamen (1907-1915)   
Lerok ngamen dimulai oleh seorang petani, Pak Santik dari Jombang, Jawa Timur. Untuk menambah penghasilan, ia pergi mbarang seorang diri menggelar lawak dan balada yang diselingi bunyi gamelan mulut. Untuk menjaga rahasia jatidiri, ia memakai bedak dan tatarias tebal serta berpakaian seperti badut. Dari sinilah berkembang seni barangan ( pertunjukkan keliling ).
Seiring waktu, pertunjukkan tunggal menjadi bertiga, Monolog menjadi dialog yang “hidup”. Dan balada dinyanyikan dalam bentuk dialog.
b.      Lerok Besutan (1915-1920)
Lerok ngamen yang dibawakan tiga orang dengan unsur lawak dan lagu yang begitu terkenal, sehingga sering diundang menghibur tamu pada perayaan. Mutunya terus meningkat dan ditambahkan gamelan hidup yang terdiri atas kendhang, saron, kempul, gong, dan siter berikut para penabuhnya.
Inti dramanya tetap dilakukan oleh tiga orang dengan peran masing-masing: Besut,rakyat jelata; wedokan (pria berperan wanita) sebagai Asmunah, istri Besut; dan Man Jamino, seorang lelaki tua.
Perubahan bentuk dari lerok ngamen menjadi lerok besutan sejajar dengan perkembangan adat upacara keagamaan di Jawa. Pemain memainkan perlambang watak yang digambarkan melalui busana. Besut menonjol karena busana aneh: peci Turki merah, celana panjang hitam, bebed lawon (sarung berwarna putih), dan bertelanjang dada, melambangkan rakyat kecil yang polos, dan pada dasarnya murni secara batin. Asmunah bergaya dengan kebaya dan kain batik, mewakili perempuan masa kini. Tokoh lelaki tua, Man Jamino, dengan cerdik memelihara keseimbangan di antara kedua kutup kehidupan.
Lerok besutan dipentaskan di halaman pemilik rumah pada malam hari. Besut muncul membawa obor, diikuti Asmunah yang kedua matanya tertutupoleh cadar putih dan mengunyah sirih. Man Jamino ikut di belakangnya. Dengan telapak tangan dikatupkan, ketiganya membungkuk ke empat penjuru (kiblatpapat).Asmunah membuka cadar dan membuang  di mulutnya; lampu dinyalakan, dan pertunjukkan dimulai. Besut merupakan cerminan orang yang berusaha menemukan pepadhanging urip, pencerahan. Perilaku sebelum sandiwara di mulai merupakan lambang kesadaran yang sedang  tumbuh.
c.       Ludruk (1920- masa kini)
Lerok besutan berubah menjadi ludruk yang menampilkan kehidupan sehari-hari dan disajikan dengan lebih mendekati kenyataan. Ludruk dibuka dengan sambutan tari ngremo.
Sebulan pertunjukkan utama dimulai, muncul dagelan oleh sepasang pelawak dan juga tari tandhakan atau bebhayan Ludruk yang dibawakan oleh sejumlah “waria” Memang salah satu daya tarik khas ludruk adalah karena semua pemainnya pria.
d.      Srimulat
Pertunjukkan Srimulat bersifat lucu dengan tekanan pada lawak. Kisah horor pun diarahkan menjadi lucu, bukan menakutkan. Cerita berjudul Mayat Hidup dan Drakula disajikan dengan cara menyindir tingkah laku manusia secara lucu, dan tidak dimaksutkan untuk membuat penonton ketakutan.
Ludruk dan srimulat merupakan dua bentuk teater populer Jawa Timur. Ludruk khusus terkenal di Jawa Timur. Jalan ceritanya bersumber pada perubahan tak terduga dalam kehidupan sehari-hari. Adapun srimulat didirikan di Surakarta tahun 1950 dan pindah ke Surabaya tahun 1961.
e.       Longser dan ubrug
Dua bentuk teater rakyat yang lebih dikenal di Jawa Barat adalah Longser dan Ubrug.  Longser sering dianggap lebih tua dan lebih asli dari pada ubrug. Tema Longser mengungkapkan impian,harapan,serta ketakutan penduduk desa dan penduduk miskin kota. Aslinya, longser dipentaskan di tempat terbuka, disebuah arena dengan oncor (obor minyak kelapa yang ditaruh di atas tiang bambu) di bagian tengah arena.
Ubrug memiliki lebih banyak unsur asing daripada longser. Ada empat kelompok cerita: babad, sheik (raja Arab), wayang, dan cerita rakyat (percintaan). Babad merupakan paduan sastra dan sejarah; kisah sheik bersumber dari timur tengah; wayang bersumber dari Mahabharata dan Ramayana; dan cerita rakyat bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Ubrug bersifat mendebarkan dan mengandalkan sindiran. Walaupun lebih cocok untuk teater formal yang memakai layar, Ubrug dapat juga dipentaskan di lapangan atau arena terbuka.

F.      Teater Tradisional Jawa Tengah
Ciri khas teater Jawa adalah bentuk drama tari yang sepanjang sejarah diayomi oleh keraton. Dalam banyak hal, bentuk drama tari dari keraton tampak berdasarkan suatu paduan cerita yang disadur dari wayang dan gerak-gerik tari keraton, seperti serimpi dan bedhaya.

a.       Wayang wong
Wayang wong secara harfiah berarti wayang yang diperankan oleh oarang. Wong berarti orang, wayang adalah boneka atau pertunjukan dramatik dengan boneka atau orang sebagai pemeran. Walaupun beberapa ahli percayawayang wong telah ada sejak abad  ke-12 di Jawa Timur, menurut tradisi pencipta wayang wong seperti yang ada sekarang adalah Hamengkubuwana I (1755-1792) dari Yogyakarta atau Mangkunegara I (1757-1795) dari Surakarta. Baik keraton Yogyakarta maupun Mangkunegara menganggap wayang wong bukan sekadar bentuk hiburan, melainkan bagian dari upacara kenegaraan, seperti khitanan, perkawinan, dan penyambutan tamu negara.

Banyak kaidah pertunjukan wayang wong diambil dari wayang kulit. Wayang wong bersumber pada versi Jawa dua epik India, Ramayana dan Mahabrata. Pertunjukan wayang wong terbagi menjadi tiga, masing-masing ditegaskan oleh hubungan perlambangan nada gamelan; pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura jika menggunakan laras slendro; atau pathet lima, pathet nem, dan pathet barang jika laras pelog yang digunakan. Tata rias, busana,dan perwatakan wayang wong juga diambil dari kaidah-kaidah wayang kulit.

Wayang wong berkembang dan dibakukan  di keraton surakarta dan Yogyakarta. Wayang wong keraton mencapai puncak di paruh pertama abad ke-20. Di Yogyakarta, Hamengkubuwana VII (1921-1939) menggelar 11 pertunjukan wayang wong secara lengkap, menggunakan 300-400 penari lelaki, selama 3-4 hari penuh (pukul 06.00-23.00). wayang wong panggung Surakarta terkenal dibuat atas perintah Susuhunan Pakubuwana X (1893-1939) untuk dipentaskan setiap malam di taman hiburan Sri Wedari. Wayang wong jenis ini, dipentaskan di atas panggung tinggi lengkap dengan layar dan perlengkapan lain, masih dapat ditemukan di kota-kota di Pulau Jawa.
b.      Golek Menak
Hamengkubuwana IX (1940-1988) mengilhami suatu perkembangan besar dalam wayang wong, drama-tari golek menak, yang mengambil tema dari kisah Menak yang disadur dari cerita Persia dan ditemukan dibanyak bagian Asia Tenggara.

Banyak kaidah pertunjukan golek menak dikembangkan dari wayang golek, bentuk  pertunjukan dengan boneka tri-matra (golek) dan menggelar kisah Menak, yang terkenal di pedesaan Yogyakarta. Para penari meniru gerak wayang golek secara rinci, misalnya gerak penggayaan “bernafas” boneka wayang golek.

Tahun 1990, dalam acara Pameran Kebudayaan di Amerika Serikat 1990-1991, acara wayang wong dan golek menak keraton Yogyakarta termasuk pergelaran utama.

c.       Langendrian
Bentuk drama Jawa lain yang penting adalah langendriyan. Opera-drama-tari tersebut diciptakan pada paruh kedua abad ke-18 di Surakarta dan Yogyakarta. RM Haria Tandakusuma, menantu Sri Mangkunegara IV (1853-1881), menciptakan gaya Surakarta; sedang gaya Yogyakarta diciptakan oleh Raden Tumenggung Purwadiningrat dan Pangeran Mangkubumi pada tahun 1876.

Langendriyan mengambil lakon Damarwulan, roman sejarah mengenai perjuangan Ratu Ayu Kencanawungu dari Majapahit, Jawa Timur, untuk mengatasi pemberontakan pimpinan Menakjingga, bupati Blambangan. Sama seperti drama Jawa lainnya, lengendriyan juga diiringi gamelan, tetapi dialognya dilakukan dengan tembang Jawa. Bentuk serupa di Yogyakarta mengambil kisah Ramayana, dan karena banyaknya tokoh-tokoh kera, pertunjukannya disebut langen-mandra-wanara (wanara=kera). Dahulu pertunjukan ini hanya dimainkan oleh penari pria, yang menari dalam sikap berjongkok. Tahun1970-an dan 1980-an para penata-tari Jawa Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, dan Sal Murgiyanto memadukan bedhaya, langendriyan, dan wayang wong untuk menciptakan bentuk dramatik yang lain, yakni langenbeksa. Beberapa episode golek menak juga ditafsirkan kembali.

d.      Sendratari
Tahun 1961, GPH Djatikusuma, putra Susuhunan Pakubuwana X, yang bertanggung jawab atas kepariwisataan pemerintah Indonesia, bersama dengan Dr. Soeharso, memimpin tim perancang sebuah panggung terbuka yang dibangun di depan Candi Lara Jonggrang di Jawa tengah. Panitia khusus pemerintah menugasi sekelompok seniman pertunjukan Surakarta dan Yogyakarta untuk menciptakan bentuk tari yang kemudian dinamai sendratari (seni-drama-tari). Semula drama-tari baru ini dinamakan “balet”.

Para seniman pertunjukan ternama yang terlibat dalam penciptaan sendratari tersebut adalaha penata-tari Raden Tumenggung Kusumakesawa, pemain gamelann dan pengubah musik R. Lurah Martopangrawit dari Surakarta; KRT Wasitodipura, dari Yogyakarta; dan pelukis-perancang Kusnadi.

Sendratari diciptakan sebagai acara wisata. Lebih dari 150 penari Surakarta, Yogyakarta, dan Prambanan dikumpulkan untuk pentas di panggung terbuka yang sangat besar. Gaya tari Surakarta dan yogyakarta dipadu dan gerak baru diciptakan sesuai dengan tata pangung dan penonton baru. Di Bali, ragam sendratari Ramayana juga dibuat dan dipentaskan dalam ukuran yang lebih kecil.


G.    Cak, Barong, Gambuh dan Prembon
Teater Bali mencakup berbagai macam jenis drama tari yang struktur pertunjukannya dpertunjukannya dikembangkan dari sumber-sumber tradisi dan upacara. Drama tari Gambuh misalnya dipercaya muncul pada zaman kerajaan Majapahit, sedang bentuk-bentuk teater yang lain seperti cak, barong dan calonarang memadukan tari dan drama. Sementara prembon merupakan sebuah bunga rampai penggabungan berbagai bentuk pertunjukan tradisi Bali yang ada sebelumnya.
a.       Cak
Cak yang sudah ada sejak zaman pra-Hindu, merupakan paduan suara laki-laki yang menggiringi tari Sanghyang untuk mengusir roh jahat. Bentuk lagunya merupakan pengulangan berirama dari kata ‘ecak-ecak-ecak’.
Lagu Cak juga meliputi nyanyian pujian dan doa untuk mengundang roh agar bergabung dalam perayaan. Kehadiran roh ditandai para petani Sanghyang yang kerauh.
Dewasa ini Cak menjadi pertunjukan mandiri yang mengambil cerita Ramayana. Cak dipercaya mulai berkembang di desa Bedulu, Gianyar, tahun 1935. Didukung minat dua seniman Eropa yang tinggal di Bedulu, Cak kemudian berkembang sebagai hiburan yang kian terkenal dengan derasnya arus wisata. Episode Ramayana di masukkan dan tahun 1969 episode tunggal diperluas menjadi epos utuh.
Pertunjukan Cak sangat sederhana dalam segala hal. Penari yang dapat berjumlah lebih dari seratus, duduk melingkar berlapis dengan sebuah obor di tengah. Mereka memakai kamben (kain yang dibebatkan sepanjang betis), bertelanjang dada, dan tiga titik putih (wina), dibubuhkan pada pelipis dan di antara kedua alis. Tokoh-tokoh Ramayana yang menari di tengah lingkaran berbusana tari Bali tradisional yang sangat indah, tetapi pada awalnya hanya pakaian biasa seperti para penari cak lainnya. Dialog diucapkan dalam bahasa Kawi oleh tokoh Ramayana dan dalam bahasa Bali oleh para penasar.
Alam memberikan ilham untuk gerak tari cak: lidah api yang menjilat-jilat, hembusan angin, nyiur melambai, gulungan ombak, gerak satwa, lompatan, dan tepukan tangan. Setiap gerak digarisbawahi dengan suara mendesis atau teriakan ‘ecak-ecak-cak’ dalam aneka irama yang terus-menerus dan dirangkai menjadi satu gubahan nada yang bersumber dari gamelan. Peran-peran utama, menari dengan gaya gerak yang bersumber dari drama lain

b.      Barong dan Kalonarang
Barong agaknya merupakan versi Bali dari sesingaan Cina. Wajah barong ket menyerupai singa, diwujudkan dengan topeng besar dan “badan” dari kain yang menutupi dua penari yang memakainya. Kaki para penari menjadi kaki makhluk barong.
Calonarang merupakan drama klasik Bali, menyajikan kisah semi-sejarah, walaupun nama itu tidak dikenal dalam sejarah. Dalam pertunjukan, sekurangnya tampil Rangda (janda), mewakili kuasa jahat Calonarang: Matah Gede, perwujudan Calonarang sebelum belajar ilmu hitam; sejumlah sisya, murid-murid Calonarang; Pandung, Patih Airlangga yang mendapat perintah untuk menyingkirkan Calonarang; dan leyak-leyakan, wujud kekuatan ilmu hitam murid-murid Rangda.
Drama-tari Calonarang diciptakan abad ke-19, merupakan paduan bentuk-bentuk seni pertunjukan yang ada ketika itu dan harus disertai upacara sebuah altar kecil diletakkan di sudut pentas dan arena pentas disucikan sebelum pertunjukan. Beberapa penari perlu mendapat perlindungan khusus dari leyak dan penari Pandung juga perlu mejalani upacara penyucian sebelum pertunjukan. Pada puncak pertempuran, Pandung berusaha membunuh Rangda, tetapi gagal karena kekuatan magis topeng Rangda dan penari yang memakainya.
Pada tahun 1930-an Calonarang menarik perhatian Walter Spies yang sedang meneliti tari Bali dan sering menata pementasan untuk wisatawan. Di ubud, tempat tinggal Spies, digelar Barong yang juga memamerkan kekuatan gaib ketika para petani menusuk diri sendiri, tanpa terluka. Zaman telah berubah, sekarang pertunjukan Barong menyatu dengan drama-tari Calonarang dan sajian baru tersebut menjadi pertunjukan hiburan yang sangat disukai wisatawan.
c.       Gambuh
Gambuh adalah tarian dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya dan merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali.
Diperkirakan Gambuh ini muncul sekitar abad ke-15 yang lakonnya bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk total theater karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama & tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya.
Pementasannya dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya.
Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu. Tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya / Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog, umumnya bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya dan kasar.

d.      Prembon
Prembon (gubahan) mengacu pada bentuk drama-tari yang unsur-unsurnya diambil dari berbagai seni pertunjukan Bali. Prembon diciptakan tahun 1940-an oleh Raja Gianyar, I Dewa Manggis VIII, yang ingin mempersatukan semua tokoh kesukaannya dari bermacam jenis pertunjukan ke dalam satu bentuk penyajian. Dalam prembon ditemukan pelawak dari topeng, penari-prajurit tari-baris, putri raja dan dayangnya dari arja, tokoh perdana menteri yang kuat dari drama-tari gambuh, serta kisah-kisah semi-sejarah tentang raja-raja Bali dan cuplikan epos Hindu.
Pertunjukan disajikan dalam bahasa Kawi (para tokoh utama) dan bahasa Bali (para tokoh pelawak pelayan). Bahasa Bali juga dipakai untuk menerjemahkan isi dialog bahasa Kawi kepada para penonton. Musik berupa gamelan gong kebyar.
Dewasa ini prembon juga mengacu pada gaya pertunjukan modern yang menampilkan bentuk campuran tari tradisional Bali yang dipertunjukan di lingkungan hotel.


H.    Mak Yong dan Randai
Mak yong dan randai merupakan dua bentuk teater tradisional utama di Pulau Sumatera dan Kepulauan Riau. Mak yong merupakan gaya teater tradisional Melayu yang lahir di Semenanjung Malaya sekitar abad ke-17 dan masuk ke Kepulauan Riau  sekitar abad ke-19. Randai adalah drama tari tutur tradisional Sumatera Barat di wilayah Minangkabau.


a.       Mak yong
Teater mak yong diyakini sementara dipengaruhi budaya Hindu-Budha Thai dan Hindu-Jawa. Nama mak yong mungkin berasal dari mak hyang, nama lain untuk Dewi Sri, dewi padi.
            Ada selusin lakon mak yong asli. Yang lain dikembangkan dari teater menora di Muangthai, wayang kulit Malaya, teater bangsawan, serta cerita panji Jawa.
Lakon mak yong menggambarkan bagaimana seorang putra mahkota berjuang mencapai cita-cita serta bertahan terhadap kehidupan keras, bencana, dan penderitaan dengan bantuan dewa. Inti cerita adalah pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dengan kemenangan di pihak kebaikan.
Tokoh mak yong meliputi Pak Yong (raja), Pak Yong Muda (putra mahkota), Mak Yong (ratu), Putri Mak Yong (putri), Ci Awang (penasihat), beberapa pelayan muda, Mak Inang (pasangan Ci Awang), Inang Bongsu (inang paling muda), Tok Wak, para dewa raksasa dan jin, penduduk desa dari ‘barat’, unsur alam (bintang, burung, gajah, ular), abdi alam dan pembatak (penjahat). Tokoh pria tua merupakan seorang arif, pengawal, penasihat, dan pengiring raja. Ia diperankan seorang yang memakai topeng merah dan, di banyak lakon, sebagai suami Mak Inang. Tok Wak adalah seorang peramal dan pejabat kerajaan. Biasanya semua peran dimainkan perempuan, kecuali peran yang mengenakan topeng, yang dimainkan pria. Di Malaysia tidak terdapat topeng dan karena itu tidak terdapat pemain pria.
Topeng dan perlengkapan Mak Yong berupa35 lagu dan sekumpulan topeng tokoh yang melukiskan penjahat, harimau, gajah, rusa, kuda, kera, burung garuda, peramal, penasihat (merah), pemuda, Mak Inang, Betara Guru (dewa tertinggi, putih), Wak Perambun (hijau), dan jin. Perlengkapan meliputi bilai (femiat, cambuk) rotan atau bambu dibelah menjadi tujuh, dibawa oleh raja atau pangeran untuk memukul awang pengasuh untuk mengait leher lawan; sebuah layang-layang ajaib diikat pada ujung tombak tajam; gajang atau ikat kepala dililitkan pada belalai gajah dan digantiungkan di hidung seorang pemain; jala atau kain panjang untuk dililitkan di tubuh menyerupai rok; dan sebuah botol atau tempat air.
Mak yong menggunakan tari dan lagu untuk menyampaikan makna tertentu. Ada lagu untuk berjalan, perang, cinta, pembuka dialog, dan sebagainya. Peralatan musik meliputi rebab di Malaysia dan serunai di Riau, sepasang gendang panjang dua sisi, sepasang gong tetawak, sepasang gendang gedombak, dua talempong (perangkat gong kecil), sebuah breng-breng (gong pipih) atau canang (gong gantung), dan beberapa pasang tepuk bambu (ceracap).
Sebuah ahli upacara, pemimpin pemain membuka pertunjukan dengan upacara buka panggung atau buka tanah.  Upacar ini bertujuan mengusir roh jahat atau dedemit yang bisa mengganggu acara. Berikutnya betabik (lagu dan tari pembuka), upacar menghadap rebab, dan tari lingkaran yang disebut Sedayung mak yong. Sesuai lagu tempo berjalan, acara pun dimulai. Dahulu pertunjukan ini digunakan untuk menyebarkan nilai sosial dan keagamaan serta konsep pemerintahan; kini mak yong dipentaskan semata-mata untuk hiburan.

  1. Randai
Randai dipengaruhi bentuk teater terkenal lama, seperti basijobang setempat, tonil Belanda, dan terutama komidi bangsawan. Konon pada tahun 1932 di daerah Payakumbuh, Sumatera Barat, sebuah kelompok komidi bangsawan memutuskan untuk menyempurnakan basijobang dengan unsur tonil Belanda dan seni pencak silat setempat. Lakon-lakonnya diperkaya dengan kaba dan beberapa naskah baru pun ditulis. Randai, dengan cepat disukai orang minangkabau. Berbagai perkumpulan bermunculan, dengan mengambil nama lakon atau tokoh kaba. Randai secara bebas dapat diartikan sebagai ‘bersenang-senang sambil membentuk lingkaran’.
Randai menyajikan peristiwa sejarah, adat Minang, dan pelajaran warisan orang tua untuk anak-anak dalam mempersiapkan hidup. Bagian paling menarik adalah kebajikan tradisional yang disampaikan kepada penonton melalui percakapan.
            Penyajian
Sebuah kelompok randai beranggotakan antar 14 dan 25 pemain, tergantung lakon. Dahulu, Randai dipentaskan di ruang terbuka, kini sering dipentaskan di gedung pertunjukan. Gerak dasar berasal dari pencak silat dan ditampilkan pada awal pertunjukan, pada saat peralihan antar adegan, pada akhir acara, serta pada saat adegan pertarungan.
Para pemain berdiri dalam sebuah lingkaran besar bergaris tengah lima sampai delapan meter. Sebelum setiap adegan dimulai, mereka menari, menyanyi, dan menciptakan irama melalui tepukan tangan dan kaki. Lagu berfungsi sebagai tuturan, pembuka adegan, salam pembuka, dan penutup. Cakapan disampaikan pemain yang duduk atau berdiri ditengah lingkaran mengelilingi bagian luar sebagai batas daerah pentas. Ketika mereka menari dalam lingkaran, bunyi ‘hep ta’ terdengar, merupakan tanada memulai gerak lagu berikutnya. Bunyi ‘hep’ diujarkan bersamaan dengan tepukan tangan dan bunyi ‘ta’bersamaan dengan tepukan kaki. Sembari bergerak, bunyi ’hep’ dan ’ta’ terus disuarakan oleh para pemain.
Randai merupakan bentuk hiburan rakyat yang digelar setelah panen, pada pesta perkawinan atau yang lain. Waktu pertunjukan malam hari, berlangsung beberapa hari atau seminggu untuk sebuah lakon. Busana berupa celana longgar hitam atau putih, kemeja hitam berkerah dan berlengan panjang gaya mandarin, ikat kepala berenda dan bermanik-manik, dan saputangan lebar dililitkan di pinggang. Pimpinan pemain dan dubalang (kepala desa) membawa belati atau keris. 
Randai berubah menjadi pentas panggung namun tetap mempertahankan ciri teater rakyat yang khas, yaitu bentuk lingkaran, seni bela diri, dan penggunaan lakon kaba. Bahkan dengan perkembangan lakon baru diluar khasanah kaba, kerangka acuan tetap menggunakan basijobang (permainan sijobang) atau bakaba (permainan kaba).
I.       Drama Gong
Drama gong, teater rakyat Bali,pada dasarnya merupakan drama lisan yang diiringi gamelan gong. Drama yang mengambil unsur pertunjukan dan teknik seni pertunjukan Bali tradisional dan drama modern ini merupakan alah satu dari sedikit seni pertunjukan yang diciptakan oleh seniman Bali modern yang disambut disambut hangat oleh warga setempat. Dalam hal ini, drama gong menjadi salah satu model pembaruan seni terbaik di Bali, yang memanfaatkan unsur seni tradisional dan budaya modern.

Drama gong dilahirkan sebagai usaha bersama dengan menggunakan semua bahan dan bakat seni masyaraakat dan pementasannya mengandalkan dukungan masyarakat. Lakon-lakonnya mampu bersambung rasa dengan semua kalangan. Drama gong memiliki kesamaan dengan ketoprak Jawa.

Drama gong termuda di antara teater populer Bali. Meskipun sejumlah pertunjukan sandiwara modern yang diiringi gamelan gong sudah ada sejak awal tahun 1960-an,drama gong muncul pertama kali pada tahun 1966. Pencipta bentuk drama aru ni adalah Anak Agung Gede Raka Payadnya, seorang seniman pentas dari desa Abianbase, Gianyar yang juga seniman Konservatori Karawitan Indonesia.

Lakon drama gong biasanya terdiri atas dua belas lakon utama meliputiseorang raja dan permaisuri dengan dua orang patih berwatak berbeda (arif dan serakah). Tokoh lain adalahh puti manis dengan dayangnya, putra manis dengan sepasang pengiringnya, putra keras dengan sepasang badutnya dan puti buruk muka. Selain itu petani juga merupakan tokoh penting dalam lakon. Kemunculan tokoh dalam lakon tidak diatur secara khusus karena susunan pertunjukan ditentukan dengan alur cerita.

Lakon drama gong berasal dari kisah Panji atau Malat. Lagenda Bali terkenal seperti Jayapran, kisah cinta Cina Sampik Ingtay, dan beberapa kisah Mahabharata juga sering dipentaskan. Serupa dengan jenis teater Bali umumnya, tema utama lakon drama gong adalah pergulatan antara kebaikan dan kejahatan. Lakon yang bersifat tragicomedic ini mengandung ajaran moral dan pesan lain disamping adegan asmara dan lucu yang tiada habisnya. Kemunculan tokoh dalam lakon bergantung dengan improvisasi tokoh, karena tidak ada naskah.pemain dapat dengan bebas berimprovisasi dalam gerak dan cakapan. Selain cakapan, tembang juga digunakan unruk menciptakan suasana atau adegan penting. Tembang Samaradhana misalnya, dinyanyikan oleh seorang wanita dalam keadaan sediah atau priamenyanyikan sinom wung payangan.

Tak lama setelah diciptakan, drama gong menjadi sangat populer. Pada tahn 1970-an hampir setiap desa di Bali memiliki kelompok drama gong. Nyaris tiada pementasan tanpa pementasan drama gong. Kini, kemasyuran drama gong menyurut. Tidak lebih dari tiga kelompok yang giat saat ini dan pertunjukannya pun sulit dijumpai.

J.       Bangsawan, Mendu dan Wayang Gong
Bangsawan, mendu, dan wayang gong merupakan tiga jenis teater tradisional yang berlatar belakang budaya Melayu. Bangsawan berasal dari budaya Melayu dan bersumber dari sastra lisan Melayu yang ditulis dalam gaya pantun. Wayang gong dipengaruhi oleh bangsawan, khususnya dalam teknik penyajian dan beberapa unsur-rupa pertunjukan.

Bangsawan terdapat di Sumatera bagian utara, namun pengaruhnya yang kuat tersebar di seluruh pulau. Di daerah lain, bentuk teater serupa juga dikembangkan dengan sebutan berbeda, seperti dulmuluk (Abdul Muluk) dan indera bangsawan di sumatera Selatan; serta dardanella, opera/komidi stambul, dan komidi bangsawan di Jawa. Seni drama Sunda, sandiwara sunda, juga dipengaruhi oleh bangsawan. Ketoprak di Jawa Tengah, terutama yang berada di pantai utara, berkembang dengan gaya bangsawan. Unsur-unsur bangsawan juga tampak dalam mamanda atau tantayungan di Kalimantan.

Mendu terdapat di daerah Riau, pusat bahasa melayu tua. Oleh sebab itu, latar budaya seni teater ini adalah Melayu tua.

Wayang gong berasal dari Jawa dan menjadi bagian adat budaya Kalimantan Selatan namun kental diwarnai unsur kesukuan wilayah ini. Kesenian ini merupakan ragam setempat wayang.
  1. Bangsawan
Bangsawan merupakan teater  taradisi di Pulau Sumatera dengan budaya Melayu sebagai latar belakang, dikenal dengan berbgai sebutan: komidi bangsawan, dardanella, dan opera/komidi stambul. Kesenian ini banyak menyerap teknik teater Barat, tercermin dari gaya pertunjukan yang selalu menggunakan panggung, bahkan ketika dipentaskan di ruang terbuka.

Bangsawan diperkenalkan pertama kali di Malaya sekitar tahun 1870 oleh sebuah perkumpulan teater India yang semua anggotanya pria; disebut wayang parsi karena lakon yang dipentaskan hampir semuanya berasal dari Timur Tengah dan India. Seni ini tersebar ke salatan, melintasi Selat malaka menuju ke Indonesia; disebut bangsawann, berarti ningrat, karena lakon semula tentang sebuah keluarga ningrat.

Ciri khas bangsawan adalah cara pementasannya. Dialog dilakukan dalam pantun empat bait yang merupakan gaya sastra lisan melayu yang menjadi sumber cerita. Syairnya, baik dialog maupun tuturan, dinyanyikan oleh pemain. Tema juga berasal dari kisah-kisah Timur tengah, legenda, dan cerita rakyat. Kisah-kisah itu dapat disajikan sesuai dengan aslinya, namun sering kali disesuaikan dengan kebudayaan suku setempat atau dipadukan dengan cerita rakyat setempat.

Pengaruh Melayu tampak jelas baik pada gaya tari maupun musik. Instrumen musik yang digunakan meliputi biola, kendhang, tambur, seruling, gitar, serunai yang mirip klarinet, dan akordion.

Musik merupak unsur lain bangsawan. Musik pengantar pada awal pertunjukan menciptakan suasana dan menarik penonton. Musik yang dimainkan selama pertunjukan menciptakan suasana cerita, mengiringi nyanyian, serta mengawali dan mengakhiri adegan.

Pertunjukan selalu dimulai dengan pembukaan berupa lagu atau tari. Kisah terdiri atas banyak adegan dan beberapa babak. Sebuah selingan berupa lelucon dan komedi membagi kisah  menjadi dua bagian. Untuk penutup, semua pemain kembali ke panggung. Bangsawan sering disebut komidi stambul (Istambul) karena titik beratnya pada lawak, kebanyakan teater tradisional Asia tidak membedakan komedi dengan tragedi. Humor merupakan unsur utama, baik dalam lakon lucu maupun serius; pemain menangis dan tertawa saat bermain. Pelawak merupakan bagian penting yang memerankan pelayan dan punakawan.

Busana selalu berkilau dan gemerlap, seperti busana dalam 1001 malam, untuk memberi suasan Timur Tengah tanpa menghiraukan peralatan dan perlengkapan yang ada. Bangsawan merupakan contoh teater tradisional yang dipengaruhi oleh teknik Barat dalam pementasan. Teater ini menggunakan panggung, lengkap dengan layar yang dilukis sebagai latar.

  1. Mendu
Mendu adalah kesenian lakontradisional Kepulauan Riau. Dalam cerita yang dimainkan, kebanyakan berkisah tentang cerita dunia kahayangan, tentang hikayat Dewa Mendu, ada yang menjadi Raja, ada yang menjadi Tuan Puteri, Dayang-dayang adapula yang menjadi Raksasa dan Jin dan sebagainya.

Unsur seni lainnya yang sangat banyak dalam kesenian ini adalah ungkapan syair-syair dan gerak tari/joget. Selain itu, sesuatu yang khas dalam pementasan kesenian drama tradisional ini adalah, unsure magis/mistik juga cukup kuat, dalam tiap pementasan, sebelum dan sesudahnya selalu di iringi dengan pembacaan doa-doa dan mantera serta tepong tawar, apalagi ketika tokoh raksasa atau jin muncul, dengan topeng dan riasan yang memang menyeramkan, maka dikhawatirkan akan membuat sawan bagi orang-orang yang tergolong “lemah semangat.”

Mendu saat ini mulai kian ditinggalkan khalayak setempat. Akibat semakin berkurangnya penyelenggaraan pementasan, sehingga bagi orang Melayu sendiri kesenian Mendu semakin tidak dikenal, bahkan hampir-hampir terlupakan, ditambah pula rempuhan budaya global melalui media elektronik semakin menggila.

Sebagai seni drama-teater, mendu selain ditopang oleh gerakan dan dialog antara pemainnya dalam menjalankan alur cerita, juga di-iringi dengan musik. Nah, untuk mencari orang-orang yang mau bermain dalam dua hal itu saja sudah sulit, apalagi alat musik yang dimainkan juga tergolong sulit untuk dipelajari seperti ada yang harus pandai memainkan biola, gambus, akordeon, gong/ketawak dan sebagainya. Belum lagi melatih gerakan dan dialog yang harus terlatih dan setidaknya sesuai dengan karakter-karakter dalam sandiwara mendu ini.

Selain itu parapemendu yang mahir semakin langka dan kalaupun ada kondisinya sudah renta dan parapemuda tempatan pun kurang tertarik untuk melakukannya. Setakad ini memang sulit untuk mencari pemendu-pemendu muda. Penyebab lainnya adalah bahwa selama ini kesenian tradisional asal Bunguran-Natuna ini masih dalam "kesenian" belum dipublikasi dalam bentuk buku.





  1. Wayang Gong
Wayang Gong, salah satu bentuk teater tradisional Kalimantan Selatan. Mirip dengan wayang orang di Jawa Tengah. Bedanya, antara lain, jumlah pemain dalam wayang gong tak sebanyak pada wayang orang. Wayang gong dapat dimainkan di mana saja, tak harus di atas panggung bersetting kerajaan.

Sejarah Singkat Wayang Gong
Pada awalnya, Abdul Muluk membawa kesenian Dalmuluk dari Pahat, Malaysia ke Sumatera. Kemudian beliau membawa kesenian tradisi Dalmuluk itu ke Kalimantan. Di Kalimantan, kesenian Dalmuluk dibagi menjadi dua, yaitu Dalmuluk Cabang dan Dalmuluk Mamanda. Pada akhirnya tetuha atau sesepuh seni (budaya) memberikan unsur-unsur seni tradisi khas kalimantan dalam kedua Dalmuluk tersebut dan mengubah namanya. Dalmuluk cabang dikenal sebagai Wayang Gong dan Dalmuluk Mamanda dikenal sebagai Mamanda, yang akhirnya kedua teater tersebut menjadi teater tradisi kalimantan selatan.






















BAB III
SIMPULAN


Arti Teater secara etimologis teater adalah gedung pertunjukan atau auditorium. Dalam arti luas teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dalam arti sempit teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media : Percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dsb. Misalnya wayang orang, ketoprak, ludruk, arja, reog, lenong, topeng, dagelan, sulapan akrobatik, bahkan pertunjukan band dan lain sebagainya. Dalam arti sempit/khusus: drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh penonton, dengan media percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor (setting), didasarkan atas naskah yang tertulis (hasil dari seni sastra) dengan atau tanpa musik, nyanyian, tarian.

Teater yang berkembang dikalangan rakyat disebut teater tradisional, sebagai lawan dari teater modern dan kontemporer. Teater tradisional tanpa naskah (bersifat inprovisasi). Sifatnya supel, artinya dipentaskan disembarang tempat. Jenis ini masih hidup dan berkembang didaerah-daerah seluruh Indonesia. Teater tradisional tidak menggunakan naskah. Menurut Kasim Ahmad teater tradisional dibedakan menjadi tiga macam yaitu teater rakyat,teater  klasik dan teater tansisi. Ciri-ciri teater tradisional adalah Pementasan panggung terbuka (lapangan, halaman rumah),Pementasan sederhana,dan Ceritanya turun temurun.









DAFTAR PUSTAKA

Sedyawati, Edy.2002.Seni Pertunjukan.Jakarta:Grolier Internasional
Meendoo.blogspot.com